SEBUAH ARTI KEHIDUPAN
Kenapa
Waktu itu begitu berharga? bahkan kadang penyesalan itu datengnya
belakangan, begitu kita sadar kalau semuanya sudah terlambat baru kita
menyesal
Kita masih disini…
Masih menghirup udara yang sama di ruangan ini.
Entah sampai kapan kita mampu bertahan.
Tapi kita harus tetap berjuang.
Saat ini mungkin tak akan pernah kembali,
Maka nikmatilah saat ini.
Saat esok hari menjelang, maka biarkan hari ini menjadi kenangan.
Entah sudah berapa banyak puisi yang ditulis oleh Cathrine. Sambil
menunggu Lexi sadar dari keadaan komanya. Kekasihnya yang sudah hampir
dua minggu terbaring tidak sadarkan diri di ruang ICU rumah sakit.
Hasil pemeriksaan menyimpulkan bahwa Lexi mengidap kanker otak dan
sudah mencapai stadium akhir, tapi Cathrine tetap percaya bahwa mujizat
Tuhan dapat terjadi kapan saja, bahkan disaat manusia merasa tidak
mungkin, sangat mudah bagi Tuhan untuk membuatnya menjadi mungkin.
“Aku percaya Tuhan akan memberi semua yang terbaik untuk kita. Cepat
sembuh ya, supaya kita bisa mengulangi semua kejadian indah yang
pernah kita lalui bersama. Aku rindu saat kita pergi kuliah
bareng, dan juga saat-saat kita jalan bersama”. Ucap Cathrine sambil
mengelus lembut kepala Lexi.
Untuk malam ini, Cathrine memang meminta izin untuk dapat menjaga
Lexi hingga esok pagi. Entah mengapa malam ini, dia begitu ingin
mengenang semua masa-masa yang mereka lewati bersama. Cathrine
mengalihkan pandangannya ke dinding yang ada di hadapannya dan terlihat
jam dinding yang menunjukkan pukul sebelas malam.
Kembali angannya melayang mengingat perkenalannya dengan lelaki yang
terbaring lemah di hadapannya tersebut beberapa tahun yang lalu. Sudah
hampir enam tahun mereka berkenalan, sejak pertama kali mereka duduk
di bangku SMP. Sebagai dua orang siswa yang sama-sama berprestasi,
tidak jarang mereka harus bersaing, baik di dalam kelas maupun ketika
mereka berkompetisi di luar sekolah. Persaingan yang sportif membuat
mereka menikmati persaingan itu dan malah membuat mereka semakin dekat.
Mereka saling menikmati kedekatan itu, karena kedekatan itu membuat
mereka saling memberikan dukungan satu sama lain.
Rasa yang tidak bisa
dicegah akhirnya menghampiri, rasa simpati dan kagum satu sama lain
berubah menjadi rasa sayang dan saling membutuhkan. Mereka tidak
berusaha menghindar karena mereka tidak bisa berbohong kalau mereka
merasakan getaran yang sama. Hari-hari semakin indah, prestasi mereka
sama-sama meningkat, begitupun juga rasa sayang itu, hingga saat ini
mereka duduk di bangku kuliah. Namun semua itu mulai terusik beberapa
bulan yang lalu, sejak Lexi mulai berubah, seakan ada yang dia
sembunyikan dari kekasihnya, Cathrine.
Lexi mulai menghindari Cathrine. Biasanya setiap hari mereka selalu
terlihat bersama di sekolah, namun perlahan Lexi mulai jarang terlihat
di sekolah. Saat Cathrine mencoba menghubungi, selalu saja tak pernah
ada respon dari si penerima telepon. Sampai akhirnya, Cathrine
mengetahui bahwa Lexi sudah hampir sebulan dirawat di rumah sakit. Saat
pertama kali Cathrine menjenguknya, Lexi masih bisa tersenyum dan
berkata, “semua akan baik-baik saja, jadi tak perlu khawatir”. Tapi,
saat ini jangankan untuk berkata hal seperti itu lagi, bahkan untuk
membuka matanya, Lexi seakan tak mampu.
Aku hanya meminta sedikit kebahagiaanmu, Tapi bahkan kesedihan pun tak kau bagi denganku
Sambil menuliskan dua penggal kalimat tersebut, tak sadar air mengalir dari sudut mata Cathrine.
Terima kasih untuk perkenalan yang indah…
Terima kasih untuk jadi motivator terbaik dalam hidupku…
Terima kasih untuk semua bahagia dan tawa yang ada…
Terima kasih untuk semua cintamu…
Kembali mata Cathrine tertuju pada jam dinding yang saat ini
menunjukkan pukul sebelas lewat dua puluh menit. Tapi tak sedikitpun ia
merasa kantuk, dan tak sedikitpun ada keinginannya untuk berbaring. Dia
tetap memandang wajah tampan pria di hadapannya sambil memegang buku
yang berisi puisi-puisi yang ia tulis selama dua minggu dia berada di
rumah sakit ini.
“Kalau kamu sadar nanti, aku akan berikan buku yang berisi puisi ini
untuk kamu, agar kamu tahu betapa aku sangat berharap untuk
kesembuhanmu. Dan berjanjilah, kalau lain kali kamu sakit tolong jangan
pernah menghindar dari aku. Kapanpun kamu mau, telinga ini selalu siap
untuk mendengar setiap keluhanmu, dan pundak ini selalu ada untuk
tempatmu bersandar saat rasa sakit itu menyerangmu.” Cathrine mulai
mengajak Lexi berbicara.
“Aku rindu dengan mata indahmu, suara merdumu, senyum manismu, dan
nasihat-nasihatmu.. aku akan tetap menunggu sampai keajaiban itu datang
dan terjadi padamu.”
“Kamu tahu nggak Lex… aku sangat senang saat ini, karena aku dapat
berdua dengan kamu, mengenang semua yang aku lewati dengan kamu,
menulis puisi-puisi untuk kamu. Tapi aku mulai lelah dengan semua ini,
tolong segera bangun dari tidurmu sebelum rasa jenuh ini benar-benar
menguasai pikiranku. Sebelum harapan ini memudar…” ucap Cathrine.
Tak sadar sudah berapa lama dia menangis dan berapa banyak air mata
yang tertumpah. Rasa lelah untuk penantian ini sudah hampir mencapai
batasnya. Ingin menyerah, namun ia masih tetap percaya bahwa harapan
itu masih ada.
Tiba-tiba Cathrine merasa ada gerakan lembut dan pelan yang
menyentuh pipinya. Ia tersentak dan segera menghapus air mata yang
mengalir di pipinya. Rasa kaget, bahagia dan haru tercampur menjadi satu
ketika melihat mata indah itu terbuka secara perlahan. Si pemilik mata
indah menatap Cathrine dengan lembut.
“Lex..Lexi… kamu udah sadar. Terima kasih Tuhan buat mujizat ini.
Terima kasih untuk jawaban atas penantianku ini. Maaf untuk harapan
yang mulai goyah”. Ucap Cathrine seraya bersyukur atas kejadian ini.
Tak sepatah kata pun keluar dari bibir Lexi, mereka hanya saling
bertatap mata. Cathrine dapat melihat dari mata Lexi begitu banyak kata
yang ingin ia keluarkan, begitu banyak cerita yang ingin ia sampaikan.
Tapi Cathrine sadar bahwa ia tak dapat memaksa keadaan untuk kembali
seperti dulu.
Mereka memerlukan proses untuk mengembalikan semua
keadaan seperti sedia kala.
Tapi rasa bahagia itu hanya sesaat saja, tiba-tiba keadaan berubah
menjadi tegang. Terlihat mesin yang menyambungkan kabel ke bagian tubuh
Lexi memberikan sinyal bahwa orang yang menggunakannya dalam keadaan
darurat. Cathrine tak tahu harus bagaimana, ia berlari mencari dokter
di luar ruangan, berteriak meminta pertolongan. Dokter datang dan
segera memeriksa keadaan Lexi, namun apa yang terlihat adalah bahwa
dokter dan suster yang ada di ruangan tersebut sudah mulai melepas
semua alat bantu yang ada di seluruh bagian tubuh Lexi.
“Kami sudah berusaha, tapi kehendak Tuhan berkata lain. semoga semua keluarga tabah menerima ini”. Ucap dokter memberi keterangan pada Cathrine.
Dunia seakan berhenti bagi Cathrine. Harapannya kali ini benar-benar sudah musnah. Tak akan ada lagi harapan untuk kesembuhan Lexi. Di sudut ruangan terlihat dokter melihat ke arah jam tangannya dan Cathrine pun ikut melihat jam yang tergantung di dinding ruangan. Pukul dua belas tepat. Keluarga Lexi yang baru saja tiba juga segera berlari masuk ke dalam ruangan untuk melihat orang yang di kasihi untuk terakhir kalinya. Sementara Cathrine terduduk di lantai ruangan rumah sakit, mencoba meyakinkan diri bahwa semua ini hanyalah mimpi, mimpi buruk yang sebentar lagi akan sirna. Tapi ini bukanlah mimpi, namun adalah benar-benar kenyataan, kenyataan yang menyakitkan yang harus ia hadapi.
“Lexiii… kenapa harus membuka mata itu, kalau kamu ingin menutupnya selamanya? Kenapa tak kamu biarkan saja mata itu tertutup malam ini, namun nafas itu tetap ada selamanya?” Cathrine merintih dalam tangisannya.
“Aku ingin menulis puisi yang terakhir untuk kamu, setelah ini aku tak akan pernah menulis puisi-puisi lainnya selamanya.” Ucap Cathrine sambil membuka buku yang berisi puisi-puisi yang ditulisnya, seraya menahan air yang ada di sudut matanya sehingga tak jadi tertumpah membasahi pipinya.
Penantianku terjawab…
Harapanku tercapai…
Aku menyayangimu, namun tak mampu memilikimu.
Aku mengharapkanmu, namun Tuhan berkehendak lain padamu.
Aku kecewa… Aku marah…
Namun apa guna jika itu mampu membuatmu bahagia.
Aku tak rela…
Namun keadaan memaksa.
Setiap awal akan berakhir
Setiap pertemuan akan berujung perpisahan
Tapi tetaplah percaya, setiap kejadian akan memberi hikmah.
Selamat Jalan kekasih
Bahagiaku untukmu selamanya…
Itulah puisi terakhir yang di tulis Cathrine, setelah menyelesaikan
puisi tersebut, Cathrine meninggalkan buku itu di bangku rumah sakit
dan segera bergegas meninggalkan rumah sakit.
“Terima kasih untuk cinta itu, percayalah… saat engkau bahagia di alam sana, begitupun aku akan melanjutkan kehidupanku di alam ini dengan bahagia.” Ucap Cathrine tersenyum menabahkan dirinya dan kemudian berjalan keluar rumah sakit.
BONUS
“D, aku tau aku udah ngga lama lagi ada di muka bumi ini. Tapi aku
sayang banget sama kamu. Sumpah aku ngga pernah bisa tidur karena kamu,
aku hanya memikirkan kamu. D, semoga kamu bahagia dengan laki-laki
yang kamu sayang. Tapi aku ingin kamu nggak ngelupain aku. Aku
merencanakan untuk melamar kamu ketika lulus nanti. Tapi waktu berkata
lain. Ternyata aku dijemput lebih awal. Aku Mohon kamu jangan sedih,
Jika Kamu Sedih aku pun tak tenang meninggalkanmu!!!. Semoga kamu
bahagia di dunia sana. Aku tidak bisa apa-apa. Aku akan senang bila
melihat kau bahagia!!!. Aku Tau Mungkin kamu lagi menangis di bawah
sana, tapi please janganlah menangis terus menerus, itu membuatku tak
tenang!!!. Mungkin aku akan senang jika kammu bersama I. Aku
merasakan dialah yang pantas menjadi penggantiku. Tapi bagaimanapun kau
adalah hal yang terindah yang pernah ku miliki. D, I Love You."
IKLAN