Suara
sirine mengaum di tengah kegelapan malam. Semua polisi di New Davenport
dikerahkan untuk menangkap sosok menakutkan itu. Walaupun mereka tahu
ia baru berumur 17 tahun, namun tak ada yang berani main-main dengannya.
Semua menggunakan senjata lengkap. Tak ada yang ingin pembunuh ini
lolos dan melakukan aksi biadabnya.
Ia harus dihentikan malam ini.
Para
polisi telah mengepung Devil’s Rock, julukan bagi tebing yang menjorok
ke laut dengan batu karang menghampar di bawahnya. Terdengar suara ombak
berderu dengan keras, seolah lautan sedang mengamuk. Angin memang
bertiup kencang malam itu. Bulan hanya bersinar separuh, menerangi
pantai berbatu kota New Davenport.
“Aku melihatnya!” seru
seorang polisi ketika lampu senternya mengenai sosok bertudung itu.
Pemuda itu kembali lari, kali ini menuju ke ujung Devil’s Rock.
“Tangkap dia! Tangkap!” seru sang kepala polisi.
Sekitar
sepuluh polisi kini mengepungnya, semua mengacungkan senjata mereka ke
arahnya. Sosok itu hanya berdiri di ujung tebing, tanpa terlihat merasa
takut sedikitpun.
“Jeff!” seru sang kepala polisi, “Jeff The Killer!”
“Ya ...” jawab sang pemuda dengan suara serak yang menakutkan.
“Menyerahlah! Kau sudah dikepung!”
Pemuda
itu tertawa. Semua polisi dibuat merinding dengan suaranya. Hanya ada
kejahatan di dalam suaranya. Kejahatan yang murni. Tanpa ternoda
sedikitpun kebaikan.
Sudah tak ada lagi yang tersisa dalam jiwanya kecuali kebencian.
“Kau
tak bisa lari lagi!” seru sang kepala polisi lagi. Namun Jeff sama
sekali tak berniat untuk lari. Ia membuka tudung yang menutupi wajahnya.
Bulan kembali bersinar ketika awan yang menutupinya bergeser.
Semua polisi menahan napas ketika wajah Jeff terlihat jelas.
Cerita
mengatakan bahwa Jeff memulai kebiasaan membunuhnya setelah wajahnya
terbakar hebat. Mereka sendiri tak pernah melihat wajahnya. Konon bila
seseorang melihat wajah Jeff, maka itulah hal terakhir yang akan ia
lihat sebelum Jeff menusukkan pisau ke dalam jantungnya.
Mereka selalu mengira wajah Jeff hancur terbakar, seperti Freeddy Krueger. Namun malam ini rumor itu terbukti salah.
Wajahnya
dilapisi kulit putih yang tersusun sangat janggal, seperti plastik
menutupi wajahnya. Kulit itu, walaupun menutupi luka bakarnya, terlihat
membuat wajahnya tanpa ekspresi. Matanya terbuka lebar, sebab konon para
dokter tak bisa memperbaiki kelopak matanya yang terbakar habis akibat
kejadian itu. Ia tak pernah bisa menutup matanya, ia tak pernh tidur.
Dan mulutnya sangatlah ganjil. Bibirnya begitu tebal, seolah membengkak.
Dan ia tersenyum, ia pernah bisa berhenti tersenyum, sebab wajahnya
menjadi kaku akibat kejadian itu.
“Kalian salah ...” katanya di bawah rembulan sambil tertawa dengan sangat mengerikan.
“Kalian takkan pernah menangkapku!”
Tanpa diduga seorang pun, ia tiba-tiba melompat ke bawah, ke arah jurang yang menganga di bawahnya.
“Hentikan!!!” seru sang kepala polisi. Para polisi segera bergegas melihat ke bawah tebing.
Hanya ada bebatuan tajam dan buih ombak yang menerjangnya.
Tak ada tubuh Jeff.
Ia pasti telah tersapu ombak.
Yang mereka tahu, tak ada yang bisa selamat jika terjun ke karang-karang itu.
Tak ada yang bisa.
Bahkan Jeff The Killer sekalipun.
***
“Malam tadi, polisi berhasil memojokkan Jeff The Killer di Devil’s Rock sebelum akhirnya ia melompat ke dalam laut ...” para siswa sedang sibuk memusatkan perhatian ke layar televisi, sesuatu yang jarang terjadi di kantin New Davenport High. “Jeff The Killer yang telah meneror warga selama bertahun-tahun akhirnya tewas. Kota ini akhirnya bisa bernapas lega.”
Semua orang bersorak kegirangan.
Namun tidak untuk satu orang.
Perasaannya
bercampur aduk. Di satu pihak, siapa yang tidak senang mendengar
pembunuh berantai yang paling ditakuti itu akhirnya mati?
Namun di sisi lain, Jeff adalah kakaknya.
Liu, pemuda itu, tak tahu apakah ia harus senang atau sedih.
Di luar kantin, ia bertabrakan dengan seorang gadis.
“Ah, maaf!” kata Liu ketika melihat gadis itu dengan panik memunguti buku2nya yang terjatuh di lantai.
“Justru saya yang harusnya minta maaf.” Liu segera membungkuk untuk membantu gadis itu.
“Saya hanya panik, saya rasa saya sudah terlambat ke kelas berikutnya.”
“Tenanglah Nona,” Liu tertawa, “Ini jam istirahat makan siang. Kau murid baru ya?”
“Benarkah?” gadis tertawa, “Well,
itu menjelaskan mengapa perutku sudah lapar. Sebenarnya tidak terlalu
baru. Aku dulu tinggal di sini lalu pindah. Namun sekarang keluargaku
kembali lagi ke sini. Ini hari pertamaku bersekolah di New Davenport
High.”
Gadis itu terdiam sejenak mempelajari wajah Liu.
“Engkau Liu kan?”
Liu tertawa, “Yah, kurasa aku memang mudah dikenali di sini. Hanya ada dua murid Asia di sekolah ini.”
“Aku
Tessa. Kau mungkin tak ingat aku, namun kita pernah bertemu dulu
sewaktu kita masih kecil. Kakakku, Billy, adalah anak yang berulang
tahun ketika di pesta itu Jeff ...” gadis itu terlihat sulit meneruskan
kata-katanya.
Ya, Billy. Liu ingat. Di pesta Billy-lah Jeff
pertama kali membunuh. Dan di pesta itulah ia kehilangan semuanya.
Wajahnya dan juga kewarasannya.
“Ah maaf, aku pasti menganggu
makan siangmu ya.” gadis itu tertawa, “Silakan, lanjutkan saja lagi
makan siangmu. Kurasa aku juga akan makan, kecuali ...” ia tampak
berpikir, “Kurasa aku akan butuh bantuanmu untuk menemukan kantin.”
Liu tertawa sambil menunjuk pintu di sampingnya, “Kurasa di pintu dengan tulisan besar berbunyi ‘KANTIN’ di atasnya ini.”
Wajah
gadis itu memerah karena malu, “Wah, benar2 hari pertama masuk yang
memalukan. Mungkin, ehm, kau bisa mengantarku ke dalam dan duduk
bersamaku? Aku benar2 tak kenal siapapun di sini.”
Liu memicingkan matanya, “Kau benar2 mau makan bersamaku?”
“Ya, tentu saja. Kenapa?”
Sebab tak ada seorangpun yang mau makan bersama adik Jeff The Killer, pikir Liu.
***
Liu
duduk di bangku batu di halaman sekolah sambil menatap seorang gadis,
Amy Lee, yang kini sedang bermesraan dengan seorang pemuda tampan. Ia
adalah Peter.
“It sucks men! Melihat mantanmu sedang
bermesraan dengan salah satu cowok idola di sekolah ini padahal kalian
baru putus sekitar seminggu yang lalu.”
Liu menatap Adam, sahabatnya sambil membuka mulutnya, “Serius kau mengatakan hal sekejam ini kepadaku?”
“Kau akan cepat melupakannya jika kau sering mendengar fakta2nya. Dan faktanya adalah she’s a goddamn bitch. Admit it!”
Liu
menghela napas, “Itu bukan salahnya jika dia mencampakkanku. Ketika
pertama berkenalan, Amy murid baru di sini dan aku lupa menceritakan
satu detil kecil tentang siapa aku ...”
“Bahwa kau adalah adik
Jeff The Killer ... kurasa itu adalah sebuah detil penting yang harusnya
tak kau lewatkan saat berkenalan dengan seseorang, Liu!”
“Ya ya
ya, aku tahu ...” Liu menyeruput kembali ekspresso kalengnya, “Tapi tak
ada yang mau kencan dengan adik seorang pembunuh berantai.”
“Hei,
bro!” Adam menepuk pundaknya, “Aku ikut menyesal atas kematian Jeff.
Aku tahu dia adalah buronan, tapi dia tetap kakakmu.”
Liu
teringat pengalaman ketika ia dan Jeff masihlah saudara. Ia ingat Jeff
berkelahi dengan tiga berandal itu untuk membelanya. Ketika polisi
datang untuk menangkap Jeff, Liu maju membela kakaknya dan membiarkan
dirinya ditangkap untuk melindungi Jeff. Dulu sedekat itulah mereka.
Mereka berdua tak segan mengorbankan diri demi melindungi satu sama
lain.
Namun semua berubah malam itu, di malam dimana ia membunuh kedua orang tua mereka.
Dan berusaha membunuhya.
“Tidak,
Jeff bukan kakakku.” kata Liu tegas. Ia menatap Adam dengan tajam,
“Hubungan persaudaraan kami sudah lama berakhir. Ia bukan lagi kakakku.”
“Oke oke” Adam mengangkat kedua telapak tangannya, “Aku takkan berdebat denganmu tentang hal itu.”
Liu kembali memperhatikan Amy. Caranya tertawa benar2 membuat Liu merasa rindu terhadapnya.
“Hei,
kau mau ke rumah sakit malam ini? Aku harus menemani ayahku malam ini.
Di sana kita bisa ngobrol dan main kartu sepuasnya.”kata Adam ketika
memperhatikan raut sedih di wajah Liu.
“Dikelilingi orang2 sakit dan sekarat? Tidak terima kasih.”
Adam
adalah seorang anak yang tak mudah bergaul, bahkan akan dicap sebagai
anak aneh dengan standar anak SMA di Amerika. Namun ayahnya adalah
kepala rumah sakit di kota ini dan orang yang sangat disegani., sehingga
tak ada yang berani macam2 dengannya. Liu beruntung berteman dengannya.
Menjadi adik Jeff The Killer adalah hal yang sangat sulit. Jika tidak
berteman dekat dengan Adam, Liu yakin ia pasti sudah dibully habis2an.
Tiba2
seorang pemuda lewat di depan mereka. Pemuda itu memandangi Liu dengan
tajam, namun kemudian perhatiannya teralihkan dengan gadis cantik yang
menggandeng tangannya.
“Lihat! Lihat! Itu Keith, musuh besarmu!”
seru Adam. Keith adalah pemuda yang bertanggung jawab atas rusaknya
wajah Jeff. Dulu ia bersama kedua temannya, Troy dan Randy berusaha
membully Jeff saat pesta ulang tahun Billy, tetangga mereka. Jeff
kehilangan kesabarannya dan berhasil membunuh Troy dan Randy. Namun
Keith berhasil membakar tubuh Jeff. Di sanalah semua kegilaan Jeff
dimulai.
Karena Keith.
“Apa aku tak salah lihat? Itu Marisol Gonzalez kan yang bersamanya, si cewek Latin tercantik di seluruh New Davenport?”
“Haha.” Liu tertawa, “Siapa yang patah hati sekarang? Bukankah kau naksir Marisol sejak kelas 7?”
“Mengapa dia mau pacaran dengan berandal itu ....arrrrgh!”
Namun
Liu dalam hati tak setuju dengan perkataan Adam. Sejak kejadian itu,
Keith mulai berubah. Ia bukan lagi pemuda brengsek yang gemar membully
anak yang lebh kecil darinya. Ia berubah menjadi lebih .... pendiam.
Kurasa peristiwa mengerikan di pesta itu, melihat dua teman dekatnya
terbunuh, menimbulkan trauma di dalam hatinya.
Keith tahu ia
menjadi sasaran utama Jeff The Killer. Semua orang di kota ini tahu.
Para polisi mati2an membelanya. Apalagi karena ia adalah anak dari
mantan wali kota. Mereka berhasil melindunginya, namun tidak anak2 yang
lain. Karena tak berhasil menghabisi Keith, ia mengubah targetnya
menjadi anak2 tak berdosa yang tinggal di kota ini. Sekitar 12 anak
telah tewas terbunuh sejak Jeff memulai aksinya.
Namun tetap
saja Keith selalu memandanginya dengan wajah bermusuhan. Ia tak pernah
sekalipun bicara padanya. Dan Liu juga tak tertarik untuk mengobrol
dengan orang yang telah menghancurkan hidup kakaknya.
“Kau
serius tak mau menemaniku di rumah sakit?” kali ini Adam terdengar
seperti memohon. Pasti dia kesal sekarang gara2 melihat Marisol
bermesraan dengan Keith.
“Tidak, terima kasih. Aku ada acara nanti malam.”
“Ah, kau sudah berkenalan dengan seorang gadis rupanya ...”
“Hah, aku tidak ...”
“Sudah
jangan bohong. Kita sudah bersahabat selama bertahun2, Liu. Aku tahu,
ini akan seperti kasus Amy Lee lagi. Kau mulai berpacaran dan
melupakanku. Baru setelah putus, kau ingat lagi padaku.”
“Aku nggak akan ...”
“Hahaha ... rileks men.” Adam tertawa sambil menepuk bahunya, “Aku hanya bercanda. Dan siapa gadis beruntung itu?”
Wajah Liu memerah, “Ah bukan ... aku hanya ingin menyambut tetangga baruku. Itu saja”
***
Hari
sudah beranjak sore. Matahari mulai terbenam di lautan, membiaskan
warna keemasan di permukaan ombak. Pemandangan seperti itu akan memukai
siapapun, namun tidak sang kepala polisi. Ia masih sibuk memerintahkan
anak buah mencari dengan teliti di antara karang2. Ia masih harus
membuktikan bahwa Jeff The Killer telah mati.
Ia harus menemukan mayatnya.
“Apa
kau benar2 sudah memastikan Jeff sudah mati?” Mr. Gardnier, kepala
sekolah New Davenport High mendatanginya. “Aku tak bisa membiarkan
murid2ku dalam bahaya. Jika Jeff belum mati ...”
“Jeff sudah
mati!” jawab sang kepala polisi dengan tegas, “Dia jatuh ke karang ini.
Aku sendiri melihatnya. Tak ada seorangpun yang bisa selamat jika ia
jatuh dari sini.”
“Namun kau belum menemukan mayatnya kan?”
Sang kepala polisi menggeleng, “Mungkin mayatnya terbawa ke lautan. Mungkin kita tak akan bisa menemukannya.”
“Kau
pernah dengar yang namanya angin laut, pak kepala polisi?” ejek Mr.
Gardnier, “Angin laut selalu bertiup ke darat dan membawa mayatnya
terdampar kembali ke pantai. Selalu begitu kejadiannya. Bahkan kita
sering kan menemukan benda dari laut terhanyut hingga ke pantai?
Percayalah, jika Jeff sudah mati, mayatnya akan tersangkut di bebatuan
karang itu. Namun jika tidak ada, berarti ....”
“Jeff sudah mati,” kata sang kepala polisi, “Percayalah. Dia sudah mati!”
***
“Liu!
Turunlah dan makan!” Paman Brandon berteriak dari arah dapur. Dengan
enggan, Liu menuruni tangga untuk menemui paman dan bibinya. Semenjak
kematian orang tua angkatnya, paman dan bibi Jeff-lah yang diberikan
kuasa untuk merawat Liu dan menempati rumah peninggalan keluarganya.
Namun sayangnya, paman dan bibi Jeff tidak memperlakukan Liu dengan
baik.
“Duduklah dan makan.” dengan dingin Bibi Martha
menyuruhnya duduk sambil mempersiapkan hidangan. Tubuh mereka berdua
sangat kontras. Paman Brandon sangat kurus, sedangkan Bibi Martha sangat
gemuk.
“Ikan asin lagi,” pikir Liu. Sementara paman dan bibinya
memakan daging bacon yang lezat ... dari uang warisan kedua orang
tuanya.
“Kurasa aku akan makan di atas.”
“Jangan kurang
ajar seperti itu!” bentak Paman Brandon. “Kami orang tuamu sekarang dan
kau harus menghormati kami. Sekarang turuti perintah kami dan duduk di
sini!”
“Kalau begitu aku tidak usah makan malam saja!” Liu
berbalik pergi dan meraih jaketnya. Ia lalu mengenakan sandalnya dan
membuka pintu.
“Hei, kembali ke sini!” teriak Paman Brandon.
“Dasar
berandalan! Nanti dia pasti akan menjadi kriminal, sama seperti Jeff.
Lihat saja!” kata Bibi Martha sambil menyantap makanannya.
***
Liu mengetuk pintu. Seorang gadis membukakannya dan langsung tampak gembira ketika melihat wajah Liu.
“Liu, kau datang!” seberkas senyuman tersungging di bibir Tessa.
“Yah,
rumahmu tepat berada di depan rumahku, jadi kurasa tak terlalu
merepotkan untuk datang ke sini.” katanya sambil tertawa. “Hmmm ...
dimana orang tuamu?”
“Oh, mereka sedang menjenguk kakakku di New Haven. Ayo, masuklah.”
“Kau yakin membiarkanku masuk ketika tak ada orang di rumah?”
“Jangan
khawatir. Jika kau berusaha berbuat macam2, aku akan berteriak dan
tetangga pasti segera berdatangan.” kata Tessa sambil tertawa.
Liu ikut tertawa, “Baiklah.”
Ia
melangkahkan kakinya memasuki rumah. Rumah ini terasa harum. Seperti
campuran bau harum maple dan cendana. Ia biasa mencium bau cendana
ketika ia masih di Cina dan bau maple sangat khas Amerika. Jadi ia bisa
mengenali keduanya, walaupun aromanya bercampur.
“Rumahmu sangat
bagus. Jarang ada orang yang membiarkanku masuk ke rumah mereka. kau
tahu, mereka takut karena aku adalah adik dari ...”
Liu tak meneruskannya. Terlalu sakit baginya untuk menyebutkan namanya.
“Maaf, apa yang tadi kau katakan?” Tessa melongokkan kepalanya dari dapur, “Aku tak mendengarnya.”
“Oh, tak apa-apa. Bukan hal penting. Jadi, kau sedang memasak?”
“Ya
jika kau menyebut merebus pasta instan di dalam panci itu termasuk
memasak.” Liu bisa mendengar tawa gadis itu dari balik dinding dapur.
“Kau mau makan?”
“Oh, tidak. Terima kasih. Aku tak mau merepotkanmu. Aku sudah makan tadi.”
Gadis itu kembali tertawa, “Kau bohong. Aku bisa mendengar suara perutmu keroncongan dari sini.”
“Hahaha
... kurasa perutku memang tak bisa berbohong. Aku skip makan malam tadi
karena tak begitu lapar. Omong2, kakakmu tinggal di luar kota?’ Liu
melihat2 foto keluarga Tessa. Di salah satu foto tampak dia sedang
bersama dengan seorang pemuda bertubuh jangkung dengan wajah masam.
“Ya, kakakku Billy kuliah di luar kota.”
“Kakakmu beruntung.” kata Liu, “Jika aku bisa, aku sudah pasti akan meninggalkan kota ini.”
“Jadi,
dengan siapa kau tinggal sekarang?” tanya Tessa sambil membawa dua
piring spaghetti yang masing hangat. Liu segera membantunya.
“Oh, ada paman dan bibiku. Mereka diwarisi rumah oleh mendiang orang tuaku. Mereka adalah orang yang sangat baik.”
“Paman dan bibimu?”
Liu menggeleng, “Orang tuaku. Mereka sangat baik. Mereka mengadopsiku sejak aku masih kecil.”
Tessa tersenyum, “Mereka kedengaran seperti orang yang baik. Ayo, makanlah!”
“Terima kasih. Jadi, mengapa kalian kembali lagi ke kota ini?
“Oh,
pertama kuceritakan dulu mengapa kami pergi. Kakakku merasa trauma
dengan semua kejadian di pestanya, jadi kami pindah selama beberapa
waktu untuk menenangkan pikirannya. Kemudian kami menyewakan rumah ini
dan setahun yang lalu kami memutuskan untuk menjual rumah ini. Tapi ....
kurasa tak ada yang mau membeli rumah bekas terjadinya pembunuhan, jadi
kami memutuskan untuk kembali menempati rumah ini.”
“Sorry to hear that.” kata Liu.
“It’s OK.”
Tessa sibuk menggulung spaghettinya. Tiba2 dia melihat sesuatu di
lengan atas Liu. Ia memakai kemeja berlengan pendek, jadi Tessa bisa
melihatnya dengan jelas.
“Apa ... apa luka itu disebabkan juga oleh Jeff.”
Tessa melihat sayatan di lengan Liu.
“Ah,
ini bukan apa2.” Liu buru2 menutupinya. “Hei, apa kau mendengarnya?”
Liu menoleh. Terdengar suara sirine polisi melewati depan rumah. Cahaya
sirine langsung melesat di jendela rumah Tessa.
“Ada apa ya? Sepertinya mereka menuju ke arah pantai.”
***
DUA JAM SEBELUMNYA
Peter memarkirkan kendaraannya di Devil’s Rock.
“Apa
kau serius mengajakku ke sini?” kata Amy dengan ketakutan. “Ini kan
tepat dimana Jeff melompat? Lagipula, sejak pagi tempat ini dipenuhi
oleh polisi.”
“Yup, tapi Jeff sudah mati dan tempat ini adalah
tempat terindah di kota ini. Polisi tentu takkan mencari mayat Jeff
malam2, jadi mereka semua pasti sudah pulang. Ditambah lagi sejak
kematian Jeff, tak ada yang mau pergi ke sini. Jadi, tempat sepi ini
adalah spot paling sempurna untuk kencan kita.”
“Tapi, Peter! Bukankah itu justru alasan yang tepat bagi kita untuk menjauhi tempat ini?”
“Sudah kubilang tadi, Jeff sudah mati. Ia melompat dari tebing itu! Tak ada yang bisa selamat dari sana. Jadi kita aman, totally save! Nah, sekarang ceritakanlah ... bagaimana rasanya berpacaran dengan adik Jeff The Killer.”
“Huh,” keluh Amy, “Dia seorang loser.
Andai saja aku tahu dia adik seorang kriminal mengerikan seperti Jeff,
aku takkan mau kencan dengannya. Ingat padanya saja sudah membuatku
ilfil. Kalau kau mau tahu rasanya bagaimana, kau kencan saja dengan
dia.”
“Kalau saja dia adalah seorang gadis cantik seperti kamu, aku pasti sudah mengencaninya.”
“Ah, gombal!”
Tiba-tiba terdengar suara.
“Sreeek ... sreeeeek ....”
“Hei, kau dengar suara itu?’ bisik Amy.
“Itu
suaranya seperti ... sial, ada yang menggores mobilku!” Peter segera
keluar dari mobil. Amy menunggu di dalam dan mendengar Peter berseru
kepada seseorang. Kemudian hanya tertinggal kesunyian. Tak ada suara
apapun. Amy mencoba melihat melalui spion, namun terlalu gelap di luar.
Ia tak bisa melihat apa-apa.
“Peter?” panggil Amy, “Peter, kau dimana!”
Masih tak terdengar tanda2 Peter.
“Peter, jika ini salah satu leluconmu, kita benar2 putus!”
Tiba-tiba terdengar suara sesuatu yang diseret.
“Sreeek ... sreeeeek ...”
“Peter?”
“AAAAAAAAAA!!”
Amy menjerit ketika tubuh Peter terbanting ke kaca depan mobilnya.
Tubuhnya berlumuran darah. Matanya membelalak dan ia mencoba membuka
mulutnya, meminta tolong. Namun ia kemudian terjatuh ke atas tanah.
“Peter! Peter!” jerit Amy.
Tiba2 seutas tangan meraihnya dan mencoba menariknya ke luar mobil.
“Tidak! Tidak!!!” Amy menjerit dan berusaha meronta.
Amy menoleh hanya untuk melihat wajah putih yang menyeringai bak Joker.
“Tidurlah ... tidurlah yang nyenyak ...”