Liu dan Keith sibuk membolak-balik catatan yang dimiliki perawat.
Keith dengan kharismanya berhasil membujuk seorang pasien untuk membuat
para perawat sibuk. Kemudian mereka mengendap2 memeriksa sesuatu yang
mungkin Adam lihat pada hari naas itu. Mungkin saja mereka menemukan
petunjuk.
Entah bagaimana, namun dua pemuda yang awalnya
bermusuhan itu tiba2 menjadi rekan seperjuangan. Mereka sama2 tertantang
untuk memecahkan misteri yang mereka hadapi. Sekarang atau tidak sama
sekali!
“Ah, tak ada apa2 di sini.”
erang Keith, “Hanya catatan2 rutin. Jadwal pemeriksaan, daftar pasien,
daftar obat2an, infus, jaruum suntik, kantung darah, menu makanan
pasien, alat2 operasi, bahkan laundri selimut dan bantal. Cakupannya
terlalu luas.”
“Pasti ada sesuatu di sini ... “ namun Liu
akhirnya menyerah dan membanting kertas2 itu di atas meja. “Kau benar.
Ini tak ada gunanya. Bahkan jika Adam memang menemukan dokumen yang bisa
membongkar identitas asli si pembunuh, mungkin saja penjahat itu sudah
mencurinya dan memusnahkannya di malam saat Adam terbunuh.”
Tiba2 telepon genggam Keith berbunyi.
“Hao, Marisol? Maaf aku membolos hari ini, aku ....”
Terdengar suara isakan seorang gadis dari seberang telepon.
“Keith ... tolong aku ...”
“Marisol, apa yang terjadi denganmu?” suara Keith tedengar panik sehingga Liu menjadi was2.
“Ada apa Keith? tanya Liu. “Ada sesuatu yang terjadi dengan Marisol?”
“Dia ... dia menangkapku ...” Marisol terus menangis.
“Dia siapa?”
“Hai, Keith!” suara berganti menjadi suara serak seorang pria.
“Jeff!” Keith langsung berkesimpulan.
“Apa?” bisik Liu. “Tapi itu mustahil dia ...”
“Kekasihmu
yang cantik ini menunggu di sini. Jika kau ingin melihatnya hidup,
datanglah ke ruang olah raga sekolah sekarang juga. Ingat jangan panggil
polisi! Mendengar sirine polisi sedikit saja, aku akan langsung
menyayat tubuh pacarmu ini menjadi potongan2 kecil. Ingat itu!”
Ia langsung menutup teleponnya.
“Halo! Halo! Ah sial!’ ia menoleh ke arah Liu, “Kita harus segera ke sekolah. Ia menangkap Marisol.”
“Apa? Kita harus lapor pada polisi!”
“Tidak!” Keith langsung menolak ide tersebut, “Jeff pasti akan langsung membunuhnya.”
“Apa ... apa kau yakin itu Jeff?”
“Siapa lagi? Ayo cepat ke sana!”
***
Liu dan Keith segera turun dari mobil dan berlari secepat kilat.
Ketika
mereka tiba, terdengar suara sirine kebakaran sangat keras. Mereka juga
melihat para siswa menyerbu keluar dari dalam gedung sekolah dengan
panik.
“Semua tenang! Ini hanya alarm palsu!” seru seorang guru. Liu mengenalinya dan segera menghampirinya.
“Ada apa Pak?”
“Ada anak iseng yang membunyikan alarm kebakaran, membuat semua orang panik.”
“Apa Anda melihat Tessa?” Liu mulai khawatir.
“Ya, dia tadi ikut pelajaranku, namun lalu ia izin ke kamar mandi dan belum kembali. Aneh, dia sudah cukup lama di sana.”
Liu tanpa membuang waktu segera masuk ke dalam gedung sekolah. Perasaannya benar2 tak enak sekarang.
Jeff atau bukan, ia harus menghentikannya.
***
“Semuanya dengar!” seru Mr. Gardnier dari mikrofon, “Tidak ada kebakaran! Ini hanya ulah usil salah seorang siswa!”
Namun tak ada seorangpun yang mau mendengarkan pengumumannya. Dengan kesal ia menjauh dari mikrofon.
Ia melihat ke arah luar. Ratusan siswa sudah menghambur keluar.
“Dasar anak2 sial! Pasti ini ulah mereka agar pelajaran dikosongkan.”
Tiba2 dari jendela, ia melihat wajah yang tak asing. Wajah Liu memasuki sekolah.
“Apa
yang ia lakukan di sini? Dasar anak pembawa sial! Aku sudah
meliburkannya dengan harapan ia tak kembali lagi ke sekolah ini.
Keberadaannya hanya akan mencoreng nama baik sekolah ini. Adik Jeff The
Killer ... ia pikir ada yang mau bersekolah dengan adik psikopat? Jika
ia tak mau pergi, aku sendiri yang akan mengeluarkannya dari sini. Semua
pembunuhan ini gara2 ...”
Tiba2 di kaca di depannya, ia melihat pantulan wajah putih yang tengah menyeringai.
“Ti ... tidaaaak!”
Namun
sosok itu langsung menjerat leher pria itu dengan dasinya sendiri. Ia
kemudian menariknya dan mendudukkannya ke arah kursi.
“A ... apa
yang akan kau lakukan kepadaku?” pria tua itu gemetar. Tangannya
menggerayangi permukaan meja, mencari alat yang bisa digunakannya untuk
membela diri. Ia membayangkan sebuah pena atau pisau pembuka surat yang
bisa ia gunakan untuk menikam mata Jeff.
Namun Jeff lebih pintar, ia menusuk tangan pria itu ke atas dengan pisaunya, hingga menembus dan menancap di atas meja.
“Aaaaaaargh!!!” teriak Mr. Gardnier dengan kesakitan.
“Tidurlah ... tidur ....” bisik Jeff dengan suara mengerikan.
“Jika
kau tak mau tidur ...” Jeff menarik pisaunya dari telapak tangan Mr.
Gardnier, diriingi teriakan kesakitan dari pria renta itu.
“Aku yang akan membuatmu tertidur ....”
Dan Jeff mendekatkan pisaunya ke mata Mr. Gardnier.
***
“AAAAAAA!!!!” terdengar teriakan dari arah speaker sekolah mereka.
“Keith!” panggil Liu. “Pembunuh itu ada di ruangan kepala sekolah!”
***
Liu
segera bergegas masuk dan nyaris muntah melihat pemandangan mengerikan
yang tersaji di hadapannya. Mr. Gardnier tergeletak berlumuran darah di
lantai, tak lagi bernyawa. Mulutnya menganga lebar, begitu pula kedua
soket matanya. Kedua bola matanya telah dicungkil keluar.
“Astaga
... siapa yang melakukan ini?” Liu menghampiri mayat itu. Tanpa ia
sadari, pintu lemari di belakangnya membuka dan sesosok pembunuh
berwajah putih mengacungkan pisaunya ke arah punggungnya.
“LIU!
AWAS!!!”Keith yang baru saja sampai di depan pintu segera menerjang
pembunuh itu dan menjatuhkannya ke atas lantai. Namun dengan cepat
pembunuh itu mendorong tubuh Keith ke bawah dan mengacungkan pisau tepat
di atas dadanya.
“Tidak!” Liu segera berusaha menyelamatkan
Keith dan menarik tubuh pembunuh itu dari belakang. Ia sempat
mencengkeram wajah si pembunuh itu dan tersentak.
“Mustahil ... ini mustahil ...” pikir Liu.
Sang
pembunuh memanfaatkannya dengan mendorong tubuh Liu ke dinding. Keith
berusaha bangkit dan meraih sesuatu dari meja untuk dijadikannya
senjata. Namun sang pembunuh itu mengambil kesempatan ketika Keith
berbalik untuk menunduk dan mengiris tendon Achilles-nya.
“AAAARGH!”
teriak Keith. Iapun terjatuh. Liu berusaha menangkap pembunuh itu lagi
namun dengan gesit ia berhasil menyelinap dan melarikan diri melalui
pintu.
“Keith, kau tidak apa2?”
Keith terduduk d atas lantai dengan kaki berdarah, “Aku tak apa2. Pergilah, selamatkan Marisol!”
“Keith, ada sesuatu yang harus kau tahu! Pembunuh barusan bukanlah Jeff!”
“Apa? Bagaimana kau tahu?”
“Aku sempat memegang wajahnya. Ia memakai topeng!”
“Apa?”
“Ya, wajahnya keras dan dingin, seperti topeng porselen.”
“Lalu kenapa jika ia memakai topeng? Bukankah itu untuk menyembunyikan wajahnya yang terbakar?”
“Tidak, Keith. Dengarkan aku! Tak banyak yang tahu tentang hal ini, namun wajah Jeff telah dioperasi plastik.”
“Apa?”
“Saat
itu aku tak tega melihat wajahnya hancur karena terbakar. Aku melakukan
satu2nya yang aku bisa saat itu. Aku mendonorkan kulitku untuk
ditransplantasikan ke wajahnya.”
“Kau? Kau melakukan itu?”
“Ya,
hanya itu yang bisa kulakukan untuk membalas semua kebaikannya. Orang
tuanya mengadopsiku dan ia telah melindungiku seperti adiknya sendiri.
Jadi, dokter mengambil kulit dari lengan atasku dan melapiskannya ke
wajah Jeff. Namun ... hasilnya tetaplah tak seperti yang kami harapkan.
Wajahnya terasa janggal, seakan bukan manusia. Bibirnya membengkak
karena terbakar dan mereka tak mampu memperbaikinya, sehingga ia seakan
terus tersenyum.
“Jadi, wajah putih itu ... seharusnya itu kulit.”
Liu mengangguk, “Siapapun itu, dia bukan Jeff yang asli!”
***
“Marisol!
Tessa!” seru Liu. Suaranya bergema di gedung olahraga, sebuah lapangan
basket indoor dengan kursi2 penonton yang kosong di sekelilingnya.
“Astaga!” ia melihat tubuh dua orang gadis terikat di pilar yang menyangga kursi penonton. Tessa dan Marisol.
“Tessa!
Marisol!” seru Liu. Ia segera berlari menghampiri mereka dan berusaha
melepaskan ikatan Tessa. Sementara itu Marisol yang semula pingsan mulai
tersadar. Ia berjarak beberapa kaki dari tempat dimana Tessa diikat.
“Liu? Apa yang kau lakukan di sini? Cepat lari! Dia akan menemukanmu!” bisik Tessa.
“Tidak, aku takkan lari sebelum menyelamatkan kalian berdua!”
“Romantis sekali!” terdengar suara serak yang menggema di ruangan itu.
Liu segera berusaha melindungi Tessa. Namun sang pembunuh dengan cepat meletakkan pisaunya di depan leher Marisol.
“Jangan
sakiti dia!” seru Liu. “Bawa saja aku. Ini semua berhubungan tentangku,
bukan? semua pembunuhan yang kau lakukan ... kau mengincarku dan Keith,
jadi lepaskan saja mereka!”
Sang pembunuh itu tertawa,
menampakkan suara aslinya. Liu pernah mendengar suara itu. Astaga, suara
siapa ini? Liu sangat mengenalnya.
“Idemu benar2 cemerlang, Liu!
Menyalakan alarm kebakaran sehingga polisi dan pemadam kebakaran
datang. Benar2 ide brilian! Sayang, kau melakukan kesalahan besar!”
“Apa maksudmu? Bukan aku yang menyalakan ....”
“Jangan bohong!”
“Bukan aku, sumpah! Alarm sudah menyala sebelum aku tiba!”
“Well,” pembunuh itu berkata, “Kurasa itu tak penting lagi. Karena kalian semua akan mati di sini, sekarang juga hahaha!!!”
“Kau bukan Jeff! Siapa kau sebenarnya? Katakan?”
“Kau benar2 ingin tahu, Liu?”
“Liu, kumohon pergi saja dari sini ... selamatkan dirimu ...” pinta Tessa sambil menangis.
“Akan
kuberitahu, tapi ssssssttt ...” pembunuh itu menempelkan telunjuknya di
depan bibirnya yang menyeringai, “Jangan pernah katakan pada siapapun!”
Pembunuh itu perlahan membuka topengnya dan memperlihatkan identitas aslinya.
Jantung
Liu terasa berhenti berdetak. Ia terperanjat melihat wajah asli sang
pembunuh. Tak sedetikpun Liu pernah menduga dia-lah sang pelaku
sebenarnya.