Ia masih ingin mempercayai sahabat lamanya itu, namun kini tak ada seorangpun yang bisa ia percayai. Jessica, Mark, Brian, Theo, bahkan Leo ... tak ada jaminan bahwa pelakunya bukan seseorang di antara mereka.
Ia masih mencoba memanggil nomor Theo dan tiba-tiba ia mendengar suara dari kejauhan. Suara ringtone.
Ini ringtone milik Theo, sebuah soundtrack anime, Jenna sangat mengenalinya.
Jenna segera berusaha mencari asal suara itu.
“Theo! Theo!” panggilnya.
Namun ia terperanjat begitu melihat asal suara tersebut.
Sebuah sumur.
“Oh tidak! Kumohon ... jangan Theo ...”
Jenna memberanikan diri mendekati dan melongok ke dalam sumur itu. Suara ringtone itu jelas sekali bergema dari dalam sumur tua tersebut.
Jenna menjerit ketika melihat punggung Theo tampak mengapung di dalam sumur tersebut.
***
Jenna membuka matanya dan melihat Leo menatapnya dengan cemas.
“Leo ... di ... dimana ini?”
“Ini di ruang tamu rumahmu. Aku yang membawamu ke sini. Kau pingsan tadi. Ibumu sangat cemas.”
“Bagaimana kau menemukanku?”
“Aku mencarimu kemana-mana. Aku benar-benar khawatir, apalagi setelah yang terjadi pada yang lainnya.”
Jenna baru tersadar pemuda itu menggenggam tangannya selama ia pingsan.
“Theo!” tiba-tiba Jenna teringat kembali pengalaman yang membuatnya pingsan, “Theo! Apa dia masih hidup? Kita harus menolongnya!”
“Theo? Memangnya apa yang terjadi padanya?” Leo tampak tak mengerti.
“Theo? Apa kau tak melihatnya di dalam sumur?”
“Sumur? Tak ada apapun di sana, Jenna. Apa maksudmu Theo sudah ...”
Tubuh Jenna langsung lemas. Hal ini terjadi kembali. Mayat Theo kini juga telah menghilang. Tak ada bukti sama sekali yang tersisa. Pertama Jessica, Mark, Brian, dan sekarang Theo. Apa yang sebenarnya terjadi, Jenna tak habis pikir.
Dan kini ia tak sanggup lagi menahannya. Iapun menangis di pelukan Leo.
“Tak apa-apa, Jenna.” Leo menepuk punggung gadis itu, “Semua akan baik-baik saja.”
Dan diam-diam ia menyelipkan sebutir pil ke dalam minuman gadis itu.
***
“Apa yang terjadi dengan rumah sakit jiwa ini?” Liu terheran-heran melihat gedung megah itu kini sebagian telah hangus.
“Dibakar oleh salah satu pasien yang kabur. Katanya pasien inilah yang dibunuh oleh Jeff.”
“Pasien RSJ jelas bukan mangsa favorit Jeff.” Liu memandangi gedung itu dengan mata berair.
“Ada apa? Sepertinya kau punya kenangan dengan tempat ini.” tanya Marshall.
“Dulu pernah ada gadis yang ... ah, sudahlah! Jadi di sini kau pikir Jeff bersembunyi?”
“Tak ada tempat lain yang lebih bagus. Semua polisi yang ada di tempat ini sudah memenuhi bekas rumah kalian dulu dan daerah di sekitarnya. Tak mungkin Jeff bisa kembali ke sana tanpa ketahuan.”
“Kau memang hebat, Marshall!” puji Liu.
“Ingat! Tetap berada di dekatku oke? Aku tak mau kau mati dalam penjagaanku.”
Dan mereka berduapun masuk ke dalam gedung terbengkalai itu.
***
MALAM HALLOWEEN SEBELUMNYA
Jenna berjalan ke depan televisi sambil membawa popcorn yang baru saja ia keluarkan dari microwave.
Ia hendak membenamkan dirinya ke atas sofa dengan semua DVD film horor
yang dipinjamnya. Ia menghindari pesta Halloween yang diadakan oleh
teman-temannya New Davenport High. Berbeda dengan remaja Amerika pada
umumnya, Jenna sangat membenci pesta. Ia lebih suka menghabiskan waktu
sendiri. Biasanya ada Theo yang menemaninya. Theo membenci film horor
dan Jenna tahu ia sangat tersiksa jika harus melihatnya. Namun Theo
selalu saja bersabar dan setia menemaninya hingga film berakhir. Tapi kini hubungan mereka agak renggang. Theo tak pernah lagi datang ke rumahnya. Mungkin ini salahnya. Jenna sendiri yang sengaja menjauh. Ia tak ingin seisi sekolah mengira mereka berpacaran. Lagipula, Jenna sedang jauh cinta dengan orang lain.
Tiba-tiba terdengar suara gemerisik dari arah jendela.
Ah, kenapa sih orang tuaku harus pergi pada malam Halloween begini, gerutu Jenna. Ia pun berjalan mendekati jendela dan ketika ia bersiap untuk menutupnya, tiba-tiba ....
“AAAAAAA!!!!” Jenna menjerit ketika melihat sesosok wajah putih menyeringai ke arahnya.
Kemudian diikuti suara tawa.
“Leo!!! Bisa nggak sih kamu berhenti usil!” seru Jenna kesal, “Apa yang kau lakukan di halaman rumahku?”
“Bukan kamu ... tapi kami ...” Brian tiba-tiba nongol dari semak-semak di belakang Leo yang tengah memakai topeng Jeff The Killer. Di belakang mereka juga ada Jessica dan .... Theo.
Jenna agak terkejut melihat kedatangan Theo. Sejujurnya, ia agak merasa canggung bila ia berada satu ruangan bersama Leo dan Theo.
“Boleh kami masuk?” tanpa permisi, Leo melompat masuk ke rumah Jenna, diikuti Brian yang kemudian membantu Jessica melompati jendela.
“Hai, Jen.” sapa Theo dengan canggung sambil melompati ambang jendela.
“Hai, Theo.”
“Kau sendirian di rumah lagi?”
Jenna mengangguk.
“Yah payaaaah ... film horornya beginian aja. Kamu nggak suka film sadis ya?” keluh Brian ketika melihat koleksi DVD yang Jenna pinjam.
“Perutku tak kuat jika disuruh melihat adegan gore.” kata Jenna, “Tak seperti kau yang mengaca setiap hari.”
Jessica tertawa terbahak-bahak, “Kena kau!”
“Huh,” Brian menjatuhkan dirinya ke atas sofa yang empuk, “Dengan kemampuan sinematografiku, aku bisa membuat film yang jauh lebih bagus. Hei, Leo! Bagaimana dengan rencanamu membuat film Jeff The Killer?”
Leo duduk di sofa, “Yah, kalian tahu lah kalau sekolah pasti takkan setuju mendanai film itu.”
“Tapi film itu akan membuat kota kita lebih terkenal kan?” tanya Jessica.
“Sepertinya warga kota ini benar-benar ingin melupakan semua tentang Jeff. Ia bagaikan mimpi buruk di kota ini. Kau tahu, aku bahkan tak berhasil mendapatkan detail sekecil apapun tentang keluarga Jeff. Foto-foto mereka benar-benar telah lenyap dari arsip. Bahkan aku tak menemukan data dan foto apapun tentang adik Jeff di buku kenangan SMA. Seakan-akan mereka tak pernah ada.”
“Ya, adik Jeff. la langsung menghilang semenjak kejadian itu. Bahkan tak ada yang ingat siapa namanya ... Michael atau siapa.”
“Ada yang bilang ia ikut program perlindungan saksi FBI.” kata Theo, “Makanya tiba-tiba seluruh datanya lenyap begitu saja.”
“Kau memang ahlinya teori konspirasi, Theo.” kata Leo, “Namun tentu saja itu takkan menghentikanku membuat film tentang Jeff. Dia menurutku adalah ... apa ya ... seorang idola?”
“Ah, kau mulai terdengar seperti Peter, pembunuh copycat itu.” kata Brian. Semua tertawa.
“Aku bersumpah, aku takkan mati sebelum aku membuat film tentang Jeff The Killer. Itu ambisi terbesarku!”
......................................................
......................................................
......................................................
Mimpi
itu semakin pudar. Jenna merasa kepalanya sangat pusing dan matanya
berkunang-kunang. Ia memicingkan matanya, mencoba memahami apa yang
terjadi. “Dimana aku? Kenapa aku berada di sini?”
***
“Mengapa kau mau menolongku?' Liu bertanya pada Marshall yang kini sedang berjalan di sampingnya.
“Aku juga punya dendam dengan Jeff.” bisiknya.
“Apa?” selama ini Marshall-lah yang melindunginya selama di program perlindungan saksi, namun Liu baru sadar ia tak tahu sedikitpun tentangnya.
“Orang tuaku sudah bercerai. Ibuku membawa adikku ke New Davenport dan suatu malam ia menghilang. Semua menyalahkan Jeff atas kejadian itu.”
“Aku turut berduka cita, Marshall.” Liu merasa tak enak mendengarnya.
Ia adalah adik Jeff. Apa itu juga berarti Marshall juga diam-diam menyimpan dendam kepadanya?
Tiba-tiba mereka melihat sekelebatan bayangan lewat tepat di persimpangan lorong depan mereka.
“Siapa itu?” Marshall segera berlari mengejarnya dengan pistol teracung di tangannya.
“Marshall! Tunggu!” seru Liu.
“DOR DOR!”
Liu mendengar suara tembakan bergema bersama kilatan cahaya dari arah lorong dimana Marshall mengejar sosok misterius itu.
“Marshall! Marshall!” seru Liu. Namun suara pemuda itu hanya bergema di lorong rumah sakit. Kegelapan memenuhi tiap jengkal lorong itu. Mustahil bagi Liu untuk melihat apapun.
Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki.
“Siapa di situ? Marshall?'
Yang Liu ingat berikutnya hanyalah hantaman keras di kepalanya yang membuatnya pingsan.
***
Jenna sama sekali tak mengenali tempat dimana ia berada sekarang. Ruangan dimana ia terbangun adalah sebuah ruangan yang tampak tua. Ruangan itu amat luas, hampir seperti bangsal dengan banyak ranjang tua berjejer rapi hingga ke ujung ruangan. Tampak bekas terbakar di beberapa sisinya. Terlihat pula beberapa perlengkapan medis seperti model manusia dengan organ dalam yang terlihat serta rak-rak berisi botol obat dan jarum suntik.
Jenna menjerit begitu menyadari ada sebuah mayat terbaring di sampingnya.
Mayat yang terbakar itu.
Mayat itu masih memakai perban di kepalanya.
Jenna segera menjauh dan mencoba mencari pintu. Ia memutar pegangan pintunya, namun terkunci.
“Siapa di sana! Tolong! Keluarkan aku!” pinta Jenna. Ia melihat sekeliling dan menyadari, sebuah kamera dipasang di pojok ruangan.
“Siapa kau?” jerit Jenna, “Mengapa kau melakukan ini?”
Tiba-tiba terdengar langkah kaki, bukan ... banyak langkah kaki. Jenna mundur dari pintu dengan ngeri. Ia melihat banyak film horor bersetting di rumah sakit jiwa yang terbengkalai, dimana dokter dan para perawatnya melakukan percobaan mengerikan dengan tubuh manusia.
Apa itu yang akan ia alami di sini?
Langkah-langkah kaki itu berhenti di depan pintu.
Terdengar bunyi “klik” ketika kunci dibuka dan kenop pintupun terlihat memutar.
Jenna menahan napas.
Dan ketika pintu terbuka, nampak sosok seorang pemuda yang amat dikenalnya.
Leo.
Namun yang lebih membuat Jenna terkejut, ia tak sendirian.
Ada Brian yang memegang kamera di sana.
Juga Mark dan Jessica.
Serta Theo.
“Ka ... kalian masih hidup? Ada apa ini sebenarnya?”
Semua orang bertepuk tangan, kecuali Theo yang masih menatap Jenna dengan gemetar dari balik kacamatanya.
“Terima kasih atas aktingmu, Jenna. Benar-benar brilian.” kata Leo, “Ah maaf, bukan akting, namun sungguhan.”
“A ... aku tak mengerti ...” kata Jenna terbata-bata.
“Kau harus mengerti Jenna, kami terpaksa melakukan ini.” jawab sang sutradara, “Kau adalah aktris utama, namun sayang sekali, jika harus jujur, aktingmu buruk sekali.”
“Karena itu kami merancang semua ini. Untuk film terbaru Leo, yang aku yakin akan sangat sukses.” kata Mark. “Kami pikir, pasti akan hebat jika kau mengira bahwa ini semua adalah sungguhan sehingga kami bisa menangkap ekspresi aslimu. Jadi kami melakukan ini semua.”
“Tapi ... mayat yang kalian bakar itu. Tapi dia benar-benar mati!”
“Oh, itu hanyalah aktor tambahan kami, perkenalkan Jake!” Brian menyorotkan kameranya ke tubuh yang terbaring di ranjang dengan kostum hangus itu.
“Jake? Jake yang hilang bersama adiknya itu?”
“Ya, itu hanya pura-pura. Jake menyamar menjadi Jeff palsu, menakuti kalian, lalu pura-pura ditembak, dan efek bakar-bakaran itu, WOW! Kami harus berterima kasih pada Theo yang menciptakan special effect yang benar2 canggih itu.”
“Lalu kami memalsukan kematian kami,” kata Jessica, “Itu semua agar kami bisa mendapatkan ekspresi ketakutanmu yang asli, Jenna. Karena kau tahu, semua ini takkan terjadi jika saja aktris yang lebih baik, seperti aku, yang memerankan tokohmu.”
Leo menggandeng Jessica, “Ah, kau selalu menjadi aktris terbaik bagiku, Sayang. Namun apa yang lebih baik ketimbang ekspresi asli seorang gadis yang benar-benar mengira ia dikejar oleh pembunuh berantai?” pemuda itu kembali menatap Jenna, “Semua ini demi kesempurnaan filmku. Aku harap kau mengerti, Jenna.”
Air mata mulai mengalir di pipi Jenna, “Kau ... kau selama ini berpura-pura menyukaiku ... demi filmmu. Dan mayat-mayat itu ...”
“Mayat Mark yang tergantung dan tubuh Theo yang tenggelam; itu semua hanyalah boneka properti ... dummy ...” Leo menoleh ke arah Theo, “Dan lagi-lagi kami harus berterima kasih kepada Theo yang sudah merancang semua special effect itu dengan sempurna.”
Jenna menatap Theo. Ia menundukkan wajahnya, mencoba menghindari kontak mata dengan Jenna.
“Kenapa ... kenapa kau melakukan itu?”
“Jangan terlalu menyalahkan Theo, Jen.” kata Leo, “Dia hampir saja mengacaukan rencana kami dengan berniat mengatakan padamu yang sebenarnya di hutan. Untung saja kami cepat menghentikannya. Namun jangan khawatir, adeganmu cukup sampai di sini saja. Setelah ini sebenarnya karaktermu mati disiksa oleh Jeff di ruang bawah tanah. Theo juga sudah menyiapkan boneka sebagai pengganti dirimu dan berbagai detail-detail gory yang tak bisa kujelaskan ... takutnya akan menjadi spoiler nanti. Kau bisa berterima kasih kepada kami nanti. Sebelum ini, kau hanyalah gadis culun yang tak diperhatikan siapapun di sekolah. Dan kini, kami menjadikanmu seorang bintang!”
“Hentikan!” seru Theo, “Kalian sudah selesai kan? Biarkan dia pergi! Aku sudah cukup mendengar ini!”
“Kau masih saja perhatian dengannya, Theo?” tanya Jessica, “Ia mencampakkanmu begitu saja. Dia bukan temanmu. Kami-lah temanmu. Kami yang menyadari bakatmu dan mengajakmu bergabung.”
“Kalian hanya memanfaatkanku. Sama seperti kalian memanfaatkan Jenna!”
“Ini adalah bisnis perfilman, Theo!” seru Mark, “Semua orang saling memanfaatkan agar menjadi bintang.”
“Ini tidak adil!”
“BRAAAK!!!!” tiba-tiba terdengar suara dari atas mereka.
Semua mendongak ke atas.
“Leo, apa ada orang lain di sini?” tanya Mark.
“Tidak. Hanya ada kita Harusnya gedung ini terbengkalai. Atau itu adik Jake? Aku sudah mengatakan padanya untuk tidak mengajaknya ke sini.”
“Jake! Bangunlah! Jangan cuma tidur terus!” Mark segera menghampirinya dan mencoba menggerakkan tubuhnya, namun ...
Jenna menjerit ketika melihat tubuh Jake tercerai berai dan jatuh dari kasur. Potongan2 tubuhnya bergelimpangan di lantai dengan darah segar masih menetes.
“Theo! Ini perbuatanmu?”
“Bukan! Bukan aku pelakunya! Itu ... itu benar-benar tubuh Jake!”
“Ti ... tidak mungkin!” jerit Jessica, “Sejam yang lalu ia masih hidup!”
Tiba-tiba lampu padam. Semua menjerit di dalam kegelapan.
“Apa? Apa yang terjadi?” terdengar teriakan Leo.
“Jenna! Jenna!” seru Theo dengan khawatir.
“Theo ... aku di sini!” jerit Jenna ketakutan.
Tiba-tiba lampu menyala kembali. Semua kembali menjerit.
Tubuh Brian hampir ambruk, hanya sebatang pancang tajam yang menyangga tubuhnya. Namun pancang itu menusuk menembus kepalanya, tepat di matanya. Kameranya terjatuh dari tangannya yang kini terkulai tak bernyawa.
Theo segera menggandeng tangan Jenna, sementara semuanya berpencar dengan panik.
“JENNA! AYO CEPAT PERGI DARI SINI! ADA PEMBUNUH SUNGGUHAN BERSEMBUNYI DI SINI!