“Theo ... berhenti. Kumohon ... aku lelah.”
Theo akhirnya berhenti, namun masih memohon pada gadis itu, “Kita harus terus berlari. Pembunuh itu ada di belakang kita!”
“Theo, apa kau melihat siapa yang membunuh Brian?”
“Tidak. Saat itu gelap bukan?”
“Ba ... bagaimana dengan yang lain?”
“Ah, persetan dengan mereka. Jenna ... dengarlah! Kumohon maafkan aku.”
Jenna menatapnya dengan wajah sendu, “Tak apa-apa Theo. Aku tahu ini semua salahku. Aku terlalu dibutakan oleh perasaanku pada Leo sehingga .... sehingga aku melupakanmu.”
Theo menatapnya, “Tidak! Ini bukan salah siapa-siapa. Dengar, kita akan keluar dengan selamat dari sini, mengerti!”
“Apa ... apa kau pikir itu Jeff?”
“Aku sama sekali tak percaya dengan segala omong kosong tentang Jeff ini. Jeff sudah mati, titik! Mungkin saja pelakunya Leo atau Mark.”
“Kenapa mereka melakukan ini? Kenapa mereka membunuh Brian dan Jake?”
“Entahlah! Kau tahu kan segila apa mereka? Kita benar-benar harus pergi sekarang, Jen!
Tiba-tiba mereka mendengar suara gemeretak di dinding. Seolah-olah sesuatu yang sangat banyak akan melewati mereka.
“Apa ... apa ini?”
Di tengah kegelapan lorong di depan mereka tampa ratusan mata merah tengah mengintai.
Jenna menggenggam tangan Theo, “Theo ... itu ...”
“Lari Jen .... LARI!!!”
Dan mereka segera berlari secepat mungkin ketika ribuan tikus menyerbu mereka dari lantai.
***
Leo, Mark, dan Jessica berlari secepat mungkin menyusuri lorong.
“Di sini! Ini jalan keluarnya!”
Namun Jessica menjerit begitu melihat pintu depan telah dirantai dan digembok.
“Brengsek! Siapa yang melakukan ini!” seru Mark.
“Ada yang berusaha mengurung kita di sini!” kata Leo dengan putus asa. “Jess, coba handphone-mu! Kau bisa menelepon seseorang?”
Jessica memencet handphone-nya, namun kemudian membantingnya begitu saja ke lantai, “Sial! Percuma ... tak ada sinyal!”
“Mark, apa ini satu-satunya jalan keluar dari sini?”
“Kurasa iya. Sialan! Siapa keparat yang melakukan ini semua?”
“Aku yakin ini perbuatan Theo!”
“A .. atau mungkin Jeff ... Jeff The Killer ...” wajah Jessica memucat.
“Jangan bodoh, Jess! Jeff The Killer sudah mati. Siapapun yang melakukan ini tahu kita ada di sini dan sudah merencanakannya.”
“Bagaimana jika ... Jeff memang tinggal di sini.”
Mark dan Leo menatap Jessica.
Mata mereka terbelalak.
“A ... ada apa? Kenapa kalian melihatku seperti itu?”
Leo menunjuk ke belakang Jessica. Namun sebelum gadis itu sempat menoleh, seutas tangan langsung membekap mulut gadis itu.
Ia mencoba meronta. Tangannya terulur ke depan, mencoba meraih Leo, kekasihnya.
“Tolong aku ... tolong aku, Leo!” jeritnya dalam hati.
Namun Mark dan Leo langsung berlari melihat kejadian itu.
Jessica melihat Leo berbalik sebentar, memandang gadis itu.
“Leo ... jangan tinggalkan aku ...”
Namun pemuda itu memutuskan berbalik dan menyusul Mark.
Dari pantulan pintu kaca di depannya, Jessica bisa melihat siapa yang menawannya dari belakang.
Ia memiliki wajah Jeff The Killer.
***
Liu tersadar dan hanya menatap kegelapan di depannya. Ia mulai membiasakan matanya dengan kegelapan dan melihat lebih jelas.
“Marshall, dimana kau?” serunya.
Liu melihat ke sekeliling. Ia sadar ia masih berada di dalam asylum.
Siapa tadi yang memukulku? Liu meraih ke belakang kepalanya. Sakit sekali, namun untunglah tak ada darah.
“AAAAAAAAA!!!”
Liu mendengar jeritan seorang gadis.
“Siapa itu?” bisiknya kepada dirinya sendiri.
Ia mencoba mencari senjata dan menemukan sebuah batang besi di dekatnya. Iapun mengambilnya dan berjalan mengendap-endap menuju arah suara itu.
***
“Maaf, aku lama. Ada urusan yang harus kuselesaikan.” sosok bertopeng itu kembali masuk ke dalam ruangan. Jessica tak tahu dimana ia berada, namun ia terendam dalam air. Tubuhnya terikat dan ia melihat pria bertopeng Jeff itu menarik meja dorong berisi peralatan elektronik. Jessica pernah melihatnya di televisi. Alat-alat itu seperti mengukur denyut jantung dan menampikannya di layar dalam bentuk grafik garis.
Sosok bertopeng Jeff itu menyalakan alat itu dengan menancapkan stekernya ke dalam stop kontak.
“Ini adalah kolam terapi.” kata pembunuh itu dengan suara berat yang menakutkan, “Mereka biasanya menggunakannya untuk terapi kejiwaan. Kau tahu apa yang mereka lakukan di sini? Mereka akan membenamkan kepala pasien di dalam air hingga mereka sadar dari penyakit jiwa mereka.”
Wajah menyeringai itu menatap dengan haus darah ke arah Jessica, “Sayang sekali itu justru akan membuat mereka semakin gila.”
“Lepaskan aku!” Jessica menangis, “Mengapa kau lakukan ini pada kami?”
“Aku selalu mengawasi kalian. Aku tahu apa yang kalian lakukan malam itu. Memfitnahkan semuanya pada Jeff ... benar-benar ide yang menarik ...”
“Maafkan kami! Kami takkan melakukannya lagi, kumohon ...”
“Tentu saja kalian takkan mengulanginya lagi ... sebab kalian semua akan mati malam ini!”
Gadis itu menjerit dan meronta dalam air, namun percuma. Ia terikat erat.
“Jangan khawatir, aku takkan memperlakukanmu seperti para pasien di sini. Aku akan mencoba cara berbeda.”
“Tidak!!! Lepaskan aku! Lepaskan!!!”
Namun si pembunuh misterius itu tampaknya tak menaruh sedikitpun belas kasihan pada gadis itu. Ia mengangkat mesin yang tadi dinyalakannya dan membantingnya ke dalam air. Cahaya yang amat terang namun sangat singkat memercik ketika alat itu menyetrum tubuh Jessica di dalam air.
Sang pembunuh itu tampak puas dengan hasil pekerjaannya ketika melihat gadis itu kini tenggelam tak bernyawa di dalam bak.
Namun kepuasannya itu membuatnya lengah. Tanpa ia sadari, seorang pemuda mengendap-endap di belakangnya dan memukulkan batang besi ke arahnya.
Pemuda itu adalah Liu.
“Brengsek, kau bukan Jeff!” seru Liu, “Siapa kau? Siapa???”
***
“Theo! Dimana kamu!” jeritan Jenna menggema di lorong rumah sakit, “Jawab aku!'
Gara-gara serbuan ribuan tikus tadi, ia terpisah dengan Theo. Ia tak bisa menemukan jalan keluar dari sini dan iapun tak mau pergi tanpa sahabatnya itu.
“Theo?” Jenna mendengar suara hantaman yang amat keras. Terdengar seperti seseorang berusaha menggedor-gedor pintu.
Jenna mencari arah suara itu. Asalnya dari sebuah pintu yang tampak terkunci dari luar. Sebuah palang besi menghalangi pintu itu agar tidak terbuka.
“Siapa di situ?” Jenna mendekat.
Tiba-tiba seutas tangan mencengkeram bahunya.
“AAAAAAAAAAA!!!!” jerit Jenna.
“Siapa kau? Apa yang kau lakukan di sini?” seru pemuda itu. Jenna tak pernah melihatnya, namun pemuda itu tampaknya tak berusaha menyakitinya.
“Aku dan temanku terpisah. Siapa kau?”
“Kita harus pergi.” pemuda itu menoleh ke samping, seolah-olah takut seseorang akan muncul, “Jeff kemungkinan ada di sini.”
“Siapa kau? Dan siapa yang kau kurung di dalam ruangan itu?”
“Pria yang ada di dalam sana berusaha membunuhku,” kata pemuda itu sambil menatap mata Jenna, “Namaku Michael.”
“Astaga, kau adik Jeff? Ke ... kenapa kau ada di sini?”
“Untuk mengakhiri segalanya. Ayo, kita harus segera mencari jalan keluar dari sini!”
“Tidak!” kata gadis itu tegas, “Aku harus mencari Theo, temanku!”
“Itu terlalu berbahaya, Nona! Kau bisa terbunuh!”
“Aku tak peduli! Aku harus menemukannya dulu!”
Pemuda itu menghela napas, “Baiklah, tapi tetap di dekatku, oke?”
***
Sosok di dalam kamar itu terus mencoba mendobrak pintu ruangan itu.
“Aku harus keluar dari sini! Tugasku belum selesai!” bisiknya pada dirinya sendiri.
Ia terus mendobraknya.
“Aku belum selesai!!!!”
“BRAAAAAAK!!!!”
Dan pintu itupun terbuka.
***
Mark akhirnya berhenti berlari. Ia kabur seperti kesetanan, hingga tanpa sadar ia sudah terpisah dengan Leo.
“Leo? Kau dimana?” serunya. Namun ia hanya mendengar gaung dari suaranya sendiri.
“Ah, persetan!” pikirnya. Biarkan saja ia mati di sini.
Mark melihat ke sekelilingnya. Hanya ada dinding batu bata di sana, namun tunggu! Terlihat bekas kebakaran yang cukup hebat di sini. Sepertinya api merembet cukup besar di daerah ini dan meninggalkan kerusakan struktur di sini.
“Apa ini?” Mark melihat sebuah lubang di dinding. Beberapa bagian batu batanya tampak terlepas. Mark melongok ke dalam lubang itu. Sepertinya lubang ini menyambung ke ruang bawah tanah. Mungkin saja ia bisa keluar dari sini.
Ia menyingkirkan beberapa batu bata agar ia bisa masuk ke lubang itu. Gelap dan dingin di sana, namun tak masalah, asalkan ia bisa keluar dari sini.
Iapun melangkahkan kakinya masuk ke dalam lubang itu.
Namun tiba-tiba ia merasakan ada sesuatu merayap di kakinya, diikuti rasa sakit, seperti gigitan kecil.
“Aaaww, apa ini?' Mark buru-buru mengambil handphonenya dan mengarahkan sinarnya ke ke kakinya.
“AAAAAAA!!!” ia berteriak ketika melihat kakinya menginjak ribuan ekor semut. Koloni semut menutupi permukaan lantai hingga ke mata kakinya. Beberapa masuk dan mrayap masuk ke dalam celana Mark. Dan dalam waktu singkat, mereka telah sampai di bagian atas tubuh pemuda itu.
Mark berusaha bersandar pada dinding, namun tangannya hanya menemukan lebih banyak semut di sana. Mereka menghampar bak lumut menutupi dinding.
Mark berusaha keluar menuju lubang darimana ia masuk tadi, namun sesosok bayangan hitam telah menunggunya di sana.
“Mereka adalah marabunta ... pasukan semut yang hidup di bawah tanah.” bisiknya, “Aku telah lama berteman dengan mereka. Mereka sudah tinggal di sini lama ... jauh sebelum aku tinggal di sini. Mereka sepertiku .... memakan apa saja yang bisa mereka temukan.” wajah itu menyeringai bak iblis, “Dan kau akan jadi hidangan lezat bagi mereka.”
“Tidaak! Tidaaaaak!” tangan Mark mencoba menggapai keluar, namun gigitan semut-semut itu semakin melumpuhkannya. Ia jatuh terjerembap ke lantai dan ribuan semut mulai merayap menaiki tubuhnya.
Ia melihat cahaya semakin lama semakin melemah. Sang pembunuh itu rupanya mulai menyegel lubang di dinding itu dengan batu bata.
“Tidaaaak! Kumohon ... lepaskan aku! Aku punya banyak uang!!!”
Semut-semut itu semakin garang menghabisinya. Ratusan dari mereka mulai masuk ke dalam tubuh Mark melalui lubang-lubang di wajahnya: mulut, hidung, dan telinga.
“Ti ..... daaak ....”
Dan batu bata terakhir pun diletakkan, menutup lubang di dinding itu untuk selamanya.
***
“Theo! Dimana kau!” jerit Jenna. Namun hanya gaung suaranya yang menjawabnya kembali.
“Dengar, Nona! Kurasa berteriak bukanlah ide yang baik. Itu akan membuat Jeff lebih mudah menemukan kita.”
“Bukankah kau sudah mengurung Jeff di dalam sana?” gadis itu menoleh.
“Itu bukan Jeff. Siapapun itu, dia jelas bukan Jeff. Dan Jeff pasti masih ada di dalam sini.”
“Hei, apa kau mendengar itu?” Jenna memasang telinganya.
Terdengar suara isakan. Suara itu sangat pelan dan sayup-sayup terdengar.
“I ... itu suara perempuan. Masih ada yang hidup di sini!”
Jenna segera berlari menuju ke arah suara itu.
“Nona, tunggu!” pemuda itu berusaha menghentikannya, namun percuma.
Jenna melongok ke sebuah kamar dan terkejut melihat seorang gadis tengah meringkuk, bersembunyi di sana.
“Si ... siapa kau?'
Gadis itu sedikit mendongak ke arah Jenna. Rambutnya yang kust dan acak-acakan menutupi sebagian wajahnya, namun Jenna masih bisa mengenalinya.
“Astaga ... Christine! Apa yang terjadi padamu?”
Jenna segera menghampirinya, namun gadis itu menjauh dan tampak ketakutan.
“Jangan takut! Ini aku, Jenna! Apa kau tak ingat padaku? Kita satu sekolah.”
Gadis itu hanya menatapnya. Ia tak berbicara atau bahkan mengeluarkan suara sedikitpun. Pastilah ia merasa sangat trauma dengan apapun kejadian yang baru saja menimpanya.
“Christine, ayo! Kita pergi dari sini!” Jenna mengulurkan tangannya. Butuh waktu bagi gadis itu untuk mempercayai Jenna dan menerima uluran tangannya.
“Baguslah jika kau sudah menemukan temanmu.”
Jenna menoleh, “Bukan dia yang kumaksud, namun Theo. Aku tak tahu bagaimana dia bisa sampai di sini, namun adiknya terbunuh. Aku harus membawanya keluar dari sini.”
“Kita tak ada waktu lagi untuk mencari temanmu yang satunya, Nona! Kita harus ...”
“DOOOR!!!”
Perkataannya terpotong dengan suara tembakan yang jelas terdengar dari ujung lorong.
“Sial. Pistol itu!”
***
Leo jatuh tersungkur ke tanah. Perutnya berlumuran darah. Ia tersengal-sengal sejenak sebelum akhirnya menghembuskan napasnya yang terakhir.
Seseorang berdiri di depannya, masih mengacungkan pistol yang berasap.
“Theo?”
Ia menoleh dan terkejut melihat Jenna berada di belakangnya bersama dua orang lainnya.
“Jenna ... ini tak seperti yang kau pikirkan!”
“Theo! Apa yang kau lakukan?” jerit Jenna, “Kenapa kau membunuh Leo?”
“Dia ... dia yang memaksaku menembak. Ia mengira aku membunuh yang lainnya. Ia berusaha membunuhku ... aku hanya membela diri.”
“Jangan percaya dia! Mungkin saja memang benar dia yang membunuh teman-temanmu yang lain!”
“Siapa dia!” Theo mengacungkan pistol itu ke arah pemuda yang bersama Jenna.
“Jangan, Theo!” seru Jenna, “Dia ada di pihak kita. Dia adalah adik Jeff.”
“Turunkan pistolmu! Jika kami memang bisa mempercayaimu, berikan pistol itu kepadaku!”
Theo tampak ragu.
“Kumohon, Theo! Jika memang bukan kau pelakunya, buktikan pada kami!”
Tangan Theo gemetar, namun akhirnya ia menurunkan pistol itu dan menyerahkannya pada mereka.
“Aku yang akan menyimpan ini. Jenna, kurasa jalan keluar ada di sana. Ajak teman-temanmu!”
Jenna dan yang lainnya mengikuti langkah pemuda itu. Namun langkah mereka terhenti ketika mereka menemukan percabangan di depan mereka.
“Lewat mana sekarang?”
“Sial, jalan keluar harusnya ada di salah satu percabangan ini. Jenna, kau dan gadis itu ambil jalan sebelah kiri. Sementara aku dan Theo akan mencoba jalan sebelah kanan.”
“Apa? Kenapa kita harus berpisah?” protes Jenna.
“Aku yang akan bersama Jenna! Dia membutuhkan seseorang untuk menjaganya!” kata Theo.
“Tidak! Kau ikut denganku! Kami belum bisa benar-benar mempercayaimu! Tak aman jika kau berada bersama salah satu gadis ini. Jenna, apa kau butuh pistol ini?”
Jenna menggeleng, “Tidak. Aku tak bisa menembak. Gunakan saja jika kau bertemu Jeff.”
“Baiklah, berteriaklah jika kau menemukan sesuatu.”
Dengan berat hati, Jenna menggandeng Christine untuk berjalan ke lorong berlawanan dengan Theo. Ia sebenarnya tak ingin melakukan ini, namun sepertinya ini adalah satu-satunya cara agar mereka bisa menemukan jalan keluar dari tempat terkutuk ini.
“Kita akan baik-baik saja, Christine.” kata Jenna. Namun gadis itu tidak tahu, apakah ia berusaha menenangkan Christine ataukah dirinya sendiri.
Namun ternyata jalan yang ditelusuri Jenna buntu. Ia hendak berbalik, namun ia tertarik ketika tanpa sengaja melihat isi sebuah ruangan yang terbuka.
Ruangan itu penuh dengan gambar Jeff.
“Christine, tak apa-apa kan jika kau menunggu di sini? Aku harus memeriksa sesuatu.”
Gadis itu mengangguk pelan.
Jenna masuk ke dalam ruangan itu. Sepertinya ini adalah ruangan salah satu pasien rumah sakit jiwa ini.
Gila, sepertinya pasien yang mendiami ruangan ini sangat terobsesi dengan Jeff The Killer.
Gambar Jeff tertempel di dinding bak mading. Semua artikel koran mengenai aksi Jeff semuanya lengkap, bahkan berita yang belum pernah ia lihat sebelumnya.
Namun Jenna tertarik pada kumpulan foto yang terpajang di dinding.
Foto dengan keterangan di bawahnya: “Keluarga Jeff”.
Ada foto Jeff saat kecil bersama kedua orang tuanya.
Ia tampak seperti anak yang polos di gambar ini. Apa yang menyebabkan ia berubah menjadi pembunuh sadis seperti ini?
Namun Jenna tersentak melihat gambar yang berada tepat di bawahnya.
“Foto Jeff dan adiknya, Liu.”
Wajah seorang pemuda dalam foto tersenyum dengan tampan, bersanding dengan wajah tak berdosa yang kemudian menjelma menjadi Jeff The Killer.
Tapi ini tak mungkin!
Jika ini wajah adik Jeff, lalu siapa pria yang sejak tadi berada bersamanya?