“Kau sepertinya mengenal dengan baik asylum ini. Kalau begitu mari kita jemput Jenna dan Christine!”
Namun Theo justru heran ketika melihat pemuda di depannya justru mengunci pintu itu dari dalam.
“A .... apa yang kau lakukan?”
***
“Betapa
bodohnya aku tertipu begitu saja!” maki Jenna dalam hati. Ia dan
Christine kini bergegas menemukan Theo sebelum sesuatu yang buruk
terjadi kepadanya. Dalam hati ia bergidik ngeri. Sepanjang perjalanan ia
bersama dengan seorang pembunuh dan tak menyadarinya. Dan jika benar
dia adalah sang pembunuh, maka Jenna berani bertaruh pria yang tadi
dikurung di dalam kamar adalah Liu yang sebenarnya.
***
Liu
berjalan dengan sempoyongan. Kepalanya masih pusing. Mengapa ia tak
membunuhku saja, pikirnya. Apa dia lebih mengincar anak-anak itu? Dasar
psikopat! Ia takkan membunuh mangsanya semudah itu. Ia lebih menikmati
mengejar dan memburu mereka.
Entah mengapa, Liu
yakin ia mengenal pria bertopeng Jeff yang tadi dihadapinya dan
mengalahkannya. Mungkin sudah lama sekali, namun ia pernah melihatnya
entah dimana.
Tiba-tiba Liu terjatuh, tersandung sesuatu.
“Astaga!”
Liu langsung bangkit begitu sadar ia tadi terjatuh di samping tubuh seseorang.
“Marshall!”
Liu merasa menyesal, “Maafkan aku, Marshall! Seharusnya aku tak mengajakmu ke sini.”
Liu
menyadari sesuatu yang mengerikan. Pistol Marshall sudah menghilang.
Semoga saja salah satu dari remaja itu yang mengambilnya. Ia tak bisa
membayangkan bila sang pembunuh mendapatkan pistol itu.
“Aaargh! Kepalaku!” Liu memegangi kepalanya kembali. Rasa pusing itu justru membangkitkan sebagian memorinya.
Pembunuh itu. Liu tahu ia pernah melihatnya ... di masa lalunya.
Ia
kembali ke masa lalu, dimana ia dan Jeff masih bersaudara. Ketika itu,
mereka baru saja pindah ke New Davenport. Mereka masih anak-anak saat
itu.
“Hai!” wanita itu datang bersama anaknya
dari seberang jalan. “Namaku Barbara. Kami tinggal tepat di seberang
rumahmu. Apa kau baru saja pindah ke sini?”
“Ya, kami dan kedua anak kami baru saja menempati rumah ini. Senang mengenalmu.”
“Kebetulan
sekali, anakku akan berulang tahun dan kami akan mengadakan pesta akhir
pekan ini. Kami ingin mengudang kedua anakmu. Pasti mereka akan
mendapatkan banyak teman di sana.”
“Terima kasih
banyak. Aku yakin Jeff dan Liu akan senang datang ke pesta itu. Benar
kan anak-anak? Oh ya, siapa nama anak manis ini?”
Barbara tertawa, “Namanya Billy.”
“Fuck!” Liu ingat sekarang, “Dia Billy, kakak Tessa!”
***
“Sayang
sekali aku harus membunuhmu. Padahal aku menyukaimu.” kata Billy sambil
memainkan pistolnya ke arah Theo, “Kau sama seperti aku. Kita adalah
pembunuh.”
“Aku ... aku tidak sepertimu ...”
Pria
itu tertawa, “Hahaha ... aku tahu semua tentangmu, Theo. Aku melihat
kalian malam itu dan aku memutuskan untuk menguntit kalian. Aku
mendengar semua percakapan kalian. Aku bahkan pernah berada bersama
Jenna di kamarnya, saat dia tidur ... saat ia mengingaukan namamu ...”
Theo
menelan ludahnya. Jenna masih memperhatikannya hingga saat ini? Ia
semakin merasa bersalah mengikuti semua permainan Leo hanya untuk
membalas dendam.
“Aku tahu kau cemburu pada Leo. Karena itu kau membunuhnya.”
“Tidak!” seru Theo sambil memegangi kepalanya, “Itu salah! Aku tak berniat membunuhnya! Ia yang berusaha membunuhku!”
“Hahaha
kau bisa mengatakan apapun yang kau suka, Theo! Namun aku tahu
kegelapan hatimu ... aku tahu dalam lubuk hatimu, kau menginginkan dia
mati!”
“Dia mengancam Jenna!” akhirnya Theo
mengungapkan kebenarannya, “Ia mengatakan bahwa setelah membunuhku, dia
akan mengincar Jenna! Aku melakukannya untuk melindungi Jenna! Aku
harus, karena aku mencintainya!”
Tiba-tiba
seorang pria muncul dari balik pintu menerkam Bill. Pistol segera
terjatuh dari tangannya. Billy meronta di lantai, mencoba meraih senjata
api itu, namun Jenna kemudian muncul dan menendang pistol itu
jauh-jauh.
Theo menatap Jenna. “Dia ada di sini? Apa ... apa dia mendengar pengakuanku?” bisiknya dalam hati.
Jenna hanya menatapnya dengan air mata menggenang di pelupuk matanya.
Liu
berhasil melumpuhkan Billy dan menindihnya di lantai. Namun tiba-tiba
saja, seorang gadis muncul dari balik kegelapan dan menikam punggung
Liu.
“AAAAARGH!!!” Liu berteriak kesakitan dan
ambruk ke lantai. Billy menggunakan kesempatan itu untuk membanting Liu
ke lantai. Iapun bangkit dengan senyum penuh kemenangan.
Mulut Jenna menganga melihat plot twist yang sama sekali tak ia duga itu.
“Christine! Apa yang kau lakukan?” jeritnya. “Kenapa ... kenapa kau malah menolongnya?’
Namun mata gadis itu hanya tertuju pada Liu yang kini merintih kesakitan di lantai.
“Selalu
ada dua pembunuh, Liu. Mengapa kau tak pernah belajar dari pengalaman?
Sama seperti Peter dan Tessa, selalu ada dua pembunuh!” gadis yang
mengaku Christine itu akhirnya bersuara. Namun itu sama sekali bukan
suara Christine.
“Su ... suara itu,” bisik Liu di tengah erangannya.
Ia menoleh pada gadis itu. Menatapnya tak percaya.
“Kate?”
“Jangan
panggil aku lagi dengan nama itu, Liu. Aku bukan lagi Kate Johnson.
Namaku sekarang Jane ...” senyumnya, “Jane The Killer.”
“Lalu Christine ... apa yang kau lakukan padanya?”
Jane
menoleh pada Jenna, “Tanyakan saja pada Liu apa yang kakaknya lakukan
pada wajahku. Dia menghancurkannya! Dia menyayat bibirku hingga sobek,
hingga menyerupai senyuman Jeff The Killer. Aku membenci wajahku! Aku
membenci wajahku setiap saat aku bercermin! Namun ...”
Jane
menyibakkan rambut yang selama ini menutupi sebagian wajahnya. Jenna
langsung menjerit ngeri. Tak pernah dalam hidupnya ia melihat sesuatu
semengerikan itu.
Ia melihat jahitan di sisi wajahnya.
Jane telah melepas kulit wajah Christine, lalu menjahitnya di wajahnya sendiri, mengenakannya seolah itu topeng.
“Aku
butuh wajah baru, Jenna sayang. Dan gadis cantik ini sudah
menyediakannya. Lagipula,” ia tersenyum bengis, “Aku dan Billy juga
butuh makanan.”
“Iblis!” jerit Jenna, “Kalian semua iblis!!!”
“Kau
pikir siapa yang menjadikan kami seperti ini?” Jane mengacungkan
pisaunya ke arah Jenna. Theo segera bergerak maju untuk melindungi gadis
itu.
“Kakaknya!” Jane menunjuk ke arah Liu, “Kakaknya yang telah membuat kami seperti ini!”
“Kalian
... kalian melakukan semua ini untuk memancingku ke sini?” bisik Liu.
Ia masih berjuang agar ia tak pingsan. Sebab ia tahu, jika ia sampai tak
sadarkan diri, mungkin ia takkan pernah bisa bangun lagi.
“Tepat
sekali!” Billy akhirnya angkat bicara. “Kau tahu Liu? Karena kesamaan
nasib, aku dan Jane akhirnya berteman. Dan kamipun merencanakan semua
ini. Kami membakar asylum agar bisa lolos. Lalu kami berencana
untuk membunuh para remaja di sini, meniru perbuatan Jeff The Killer,
agar kau datang ke sini, mencoba menghentikannya. Namun, klub film in
justru membuat pekerjaan kami lebih mudah.”
“Kau punya kesempatan untuk mengatakan sebenarnya saat kita bertemu pertama kali di asylum, Liu!” seru Jane marah, “Gara-gara kau aku membunuh ibuku sendiri! Ini semua salahmu!”
“Maafkan
aku Kate! Ibumu mengatakan ada kesempatan bagimu untuk sembuh, makanya
aku tak mengatakan yang sejujurnya padamu saat itu!”
“Aku tak butuh sembuh!” jerit Jane menggila, “Yang kubutuhkan adalah balas dendam!”
“Kalian
tidak adil!” Jenna mencoba membela Liu, “Liu sama sekali tak bersalah!
Kalian sendiri kan yang mengatakan Jeff yang melakukan ini semua pada
kalian? Mengapa justru Liu yang harus menanggung ini semua?”
“Kau
sama sekali tak mengerti, ya?’ kata Billy, “Liu adalah adik Jeff. Liu
adalah satu-satunya dari masa lalu Jeff yang tersisa. Jika Liu mati maka
Jeff pasti akan muncul. Dan pada saat itulah kami akan mendapatkan
pembalasan dendam kami yang sesungguhnya!”
“Kalau
begitu bunuh saja aku!” Liu mencoba bangun dengan berlumuran darah,
“Namun biarkan mereka hidup! Mereka tak ada sangkut pautnya dengan semua
ini!”
“Tidak!” jerit Jenna, “Aku takkan meninggalkanmu di sini!”
“Aku juga!” seru Theo.
“Ah, kalian setia sekali. Padahal kalian baru saja bertemu. Jangan khawatir, kalian akan bergabung di alam baka!”
“Ini sudah terlalu malam,” tiba-tiba suara bisikan menggema di ruangan tersebut, “Mengapa kalian tidak pergi tidur saja?”
Semua terkejut.
“Siapa itu?” jerit Jane.
Tiba-tiba
sesosok bayangan hitam muncul dari pintu. Liu menengok dan yakin benar,
itulah bayangan hitam yang dikejar Marshall sebelum ia meninggal.
Bayangan
itu tinggi besar dan segera membuat Jenna dan Theo yang melihatnya
menjadi membeku ketakutan. Ia menusukkan pisau yang dibawanya ke tubuh
Billy. Kekuatan tubuh pria itu amat besar hingga ia bisa mengangkat
Billy ke udara lalu membantingnya begitu saja ke lantai setelah mengoyak
perutnya.
Billy tergeletak tak bernyawa di atas lantai. Namun Jane hanya tertawa keras ketika melihat siapa yang telah merusak pestanya.
“Jeff,” bisiknya, “Akhirnya kau datang!”