Tubuhnya tinggi besar, menggunakan jumper putih berlumuran darah. Kegelapan menelan sebagian wajahnya, namun ia bisa melihat mata tanpa kelopaknya serta seringai kejam yang langsung membangkitkan rasa takut siapapun yang melihatnya. Semua topeng dan gambar creepypasta itu salah! Wajah Jeff yang sesungguhnya berkali-kali lipat lebih mengerikan ketimbang yang dapat dibayangkan orang.
“Hai Sayang,” bisik Jeff dengan suara berat yang dapat meruntuhkan nyali siapun yang mendengarnya. Hanya kejahatan murni yang terdengar dalam suaranya, tanpa ternoda sedikitpun kebaikan. “Aku ingat kau. Kita bertemu di malam Halloween bertahun-tahun lalu. Kau suka wajahmu sekarang? Aku membuatmu lebih cantik, bukan?”
“Keparat! Kau takkan lolos kali ini!” Jane menerjangkan pisau yang dipegangnya ke tubuh Jeff. Mereka berdua bergulat, melupakan kehadiran ketiga mangsa mereka.
“Cepat! Mereka sedang sibuk. Kalian harus segera pergi dari sini!” Liu menunjuk ke pintu keluar yang terbuka.
“Kenapa kau tak ikut dengan kami?” pinta Jenna.
“Tidak bisa! Aku harus menghentikan ini semua. Aku tak bisa membiarkan ada orang lain yang mati karena perbuatan Jeff. Sekarang atau tidak sama sekali!”
“Kau takkan bisa menghadapi mereka!” seru Theo, “Kau akan mati!”
“Tidakkah kalian mengerti? Siapapun di antara mereka berdua yang menang tidaklah masalah. Kejahatan tetap akan menang! Aku takkan membiarkan hal itu terjadi! Sekarang, cepat kalian pergi! Pergi!”
Theo segera menggandeng Jenna dan menariknya ke arah pintu keluar.
“Tidak, Theo!” Jenna meronta, “Kita tak bisa meninggalkannya! Dia tadi sudah menyelamatkan nyawamu!”
“Ikutlah denganku. Aku punya rencana!” Theo menatap Jenna dengan mata penuh keyakinan. Jenna hanya bisa mempercayainya saat ini.
Liu lega melihat kedua remaja itu kini telah meninggalkan asylum dengan selamat. Kini ia menatap kedua sosok pembunuh berantai yang sedang bertempur itu. Jeff memang kuat, namun Jane lebih lihai. Siapapun yang menang sama saja, pikir Liu. Tetap saja akan ada banyak orang terbunuh jika salah satu dari mereka masih hidup.
Namun Liu bingung, siapa yang akan dia bantu? Apa ia akan di pihak Jane. Mereka toh punya misi yang sama untuk menghentikan Jeff. Atau dia berada di pihak Jeff? Ia tetap adalah saudaranya. Ia tak bisa membiarkan Jane membunuhnya.
Liu sedang menghadapi dilema sekarang. Namun ia tahu, ia harus berbuat sesuatu.
“Pistol itu” pikiran itu segera terlintas di benak Liu. Ia melihat ke arah dimana pistol itu terakhir terjatuh. “Ya, di sana! Aku melihatnya!”
Liu segera mengambil pistol itu dan mengacungkannya ke arah mereka. Tak seorangpun di antara mereka berdua yang menyadarinya.
“Siapa yang akan aku tembak?” Liu membidik Jane, namun ia merasa tak yakin. Jeff lebih berbahaya. Maka ia mengarahkan moncongnya ke arah Jeff.
“Siapa? Siapa yang akan aku tembak?”
Liu memejamkan matanya sejenak. Akhirnya ia memutuskan. Ya, ia sudah memutuskan.
Ia pun membuka mata dan menembakkan pistolnya.
“DOR!!!”
***
“Itu!” tunjuk Theo ke mobil karavan yang biasa digunakan Leo untuk mengangkut alat-alat untuk keperluan syuting mereka.
“Theo! Kita tidak akan kabur kan?”
“Tidak! Kita akan habisi Jane dan Jeff malam ini juga!”
***
Jane tersungkur ke lantai. Pisau yang ia pegang berdenting di lantai, menggema di tengah kesunyian yang menelan malam setelah Liu meletuskan pistolnya.
“Kau menyelamatkanku, Jeff.” kata Liu, “Kau membunuh Billy untuk mencegahnya membunuhku.”
“Kau benar, adikku.” bisik Jeff lirih dengan suara beratnya yang mencekam.
Liu tersenyum. Selama ini ia benar. Masih ada sedikit kebaikan yang tersisa di dalam diri kakaknya itu. Jeff bisa kembali seperti semula, seperti dulu kembali.
“Aku tak bisa membiarkan mereka membunuhmu,” Jeff tersenyum. Wajahnya selalu menyeringai, namun entah kenapa kali ini Liu yakin Jeff memang bermaksud tersenyum, “Karena hanya akulah yang berhak membunuhmu!!!”
Jeff menerjangkan pisaunya ke arah Liu.
“MIMPI INDAH, LIU!!!”
Liu kembali menarik pelatuknya, namun percuma.
Pistol itu kini kosong.
***
Suara langkah kaki menggema di tengah lorong yang gelap. Ia baru saja mendengar suara tembakan. Pasti mereka ada di sana.
Ia menyeret langkahnya karena luka yang dideritanya. “Tak peduli walaupun aku harus berjalan terseok-seok,” pikirnya, “Semua ini harus diakhiri.”
***
“BRAAAAK!!!!” Liu tak tahu apa yang terjadi, namun terdengar suara hantaman yang teramat keras hingga ia terjungkal ke belakang. Debu dan pasir berterbangan. Secara refleks Liu menutup matanya dan begitu ia membukanya, iapun mengerti apa yang terjadi.
Mobil karavan entah muncul darimana telah menabrak dinding batu bata serta menghantam Jeff hingga tersungkur tak sadarkan diri.
Liu bangun dan melihat Theo keluar dari dalam mobil.
“Kau tak apa-apa?”
“Apa yang kalian lakukan di sini?” seru Liu, “Sudah kubilang kan kalian untuk pergi?”
“Terima kasih kembali!” jawab Theo, sambil menutupi hidung dan mulutnya dari debu yang berterbangan.
Liu berjalan menghampiri mereka, namun tiba-tiba seutas tangan mencengkeram pergelangan kakinya.
Jeff! Ia masih hidup!
“Jangan pikir kau bisa lolos, Liu!” Jeff mengancam dengan suara serak sembari berusaha bangun dari tumpukan batu yang menimpanya.
“Jenna! Nyalakan mobilnya!” seru Theo panik. Jenna segera pindah ke depan kemudi dan kemudian berusaha menyalakannya lagi, namun percuma.
“Mesinnya tak mau hidup!” jerit gadis itu.
“Kalian baru saja menabrakkan mobil ke tembok dan berharap mesinnya masih menyala?” seru Liu, “Kalian anak-anak masih polos sekali! Cepat pergi!”
“Setelah kubunuh kau, Liu ...” Jeff menyeringai lebar, “Aku akan mengejar dan membunuh keparat-keparat kecil itu..... HAHAHAHA!!!”
“Tidak!!! Kau takkan bisa menyentuh mereka selagi ada aku!”
Jeff mendorong Liu ke dinding hingga luka di punggungnya kembali mengeluarkan darah.
“Tenang,” Jeff bangkit berdiri seakan-akan tertabrak mobil karavan dan tertindih tembok batu sama sekali tak memiliki pengaruh padanya. “Kalian semua akan mendapatkan giliran kalian ....”
“DOR! DOR!!!” suara letusan senjata kembali terdengar, kali ini merobohkan Jeff. Jenna menjerit mendengarnya.
Liu bangkit dan melihat siapa yang telah menyelamatkannya.
“Marshall! Kau masih hidup!”
Pria itu tersenyum pada Liu, “Aturan pertama menjadi seorang marshall, selalu bawa pistol cadangan.”
“Tapi aku pikir kau sudah ...”
“Dia tadi menusukku, namun aku memakai kevlar” Marshall menunjukkan jaket anti peluru yang ia kenakan, “Cukup tebal untuk mencegah pisaunya masuk terlalu dalam.”
Tiba-tiba terdengar peringatan Theo, “Dia bangkit! Dia bangkit!!!”
Theo benar. Jeff masih berusaha bangkit walaupun timah panas sudah menerjang tubuhnya.
“Apa bensin mobil ini terisi penuh?” tanya Marshall.
“Iya, kurasa begitu. Kenapa?” balas Theo.
“Semuanya pergi dari sini! CEPAT!!!”
Liu segera menggiring Jenna dan Theo keluar dari gedung itu, disusul Marshall.
Ketika mereka sudah berada di luar, Marshall berteriak, “Menunduk!!!”
“Apa yang akan kau lakukan?”
Marshall membidik tangki bensin mobil karvan yang terjebak di dinding tersebut dan menembaknya.
“DUAAAAAAR!!!!”
Ledakan dahsyat segera menelan gedung tersebut dalam kobaran api. Liu terjungkal di tanah, sementara Theo tiarap di tanah, berusaha melindungi Jenna dari efek ledakan.
Liu terbangun menatap Marshall berdiri menatap kobaran api itu.
“Apa ... apa dia mati?’
Marshall menoleh, “Jika itu tidak membunuhnya, berarti dia bukan manusia.”
Liu kemudian bangkit menghampirinya, “Kau berhasil membalaskan dendammu.”
“Dan kau?” Marshall menatap pemuda itu, “Apa kau merasa lebih baik?”
Liu hanya menatap api yang melalap bangunan itu dan asap hitam yang membumbung tinggi ke angkasa.
“Penjahat super selalu ada, Marshall,” Liu berkata, “sayangnya pahlawan super tak pernah ada.”
Marshall masih menatap Liu, “Pahlawan super? Kurasa aku sedang melihatnya.”
***
EPILOG
Polisi membawa Jenna dan Theo kembali ke rumah mereka, namun Jenna memutuskan untuk mampir ke rumah Theo.
“Aku akan baik-baik saja, Ma.” kata Jenna di telepon, “Ibu bisa menjemputku di rumah Theo.”
Jenna menutup teleponnya.
“Kau siap?” tanya Theo.
“Ada apa ini? Apa sih yang ingin kau tunjukkan?”
Theo mengajak Jenna ke ruang bawah tanah dan menunjukkan sesuatu. Sebuah kotak dengan pita di atasnya.
“Apa ini?” tanya Jenna sambil tertawa, “Ulang tahunku kan masih lama?”
“Bukalah.”
Jenna membukanya perlahan. Dia menatap Theo penuh tanda tanya setelah Jenna melihat apa yang ada di dalam kotak tersebut.
“Apa ini maksudnya, Theo?”
“Malam ini sangat inspiratif, bukan? Jika semua pengalaman panjang itu membuatku mempelajari sesuatu, maka hal itu adalah ...”
Theo diam sebentar lalu tersenyum,
“Bahwa mencabut nyawa manusia ternyata jauh lebih mudah ketimbang yang aku duga.”
“Apa maksudmu, Theo?”
“Sudahlah Jenna, berhentilah berpura-pura! Aku tahu perasaanmu, dikucilkan dan dibully tiap hari., seperti yang anggota klub film itu lakukan padamu! Kita bersahabat karena kita sama bukan? Namun kini ...”
Theo mengangkat dua topeng Jeff itu dari dalam kotak.
“Kau dan aku ... kita berdua ... akan membalaskan dendam kita kepada semua yang telah menyiksa dan mengucilkan kita!” Theo tersenyum, “Seperti yang selalu kukatakan, semua manusia pada dasarnya memakai topeng. Jauh di dalam diri kita, kita semua adalah pembunuh. Yang perlu kita lakukan adalah melepas topeng kita .... dan mengenakan topeng yang lain.”
Jenna tertawa, “Apa kau juga mengatakan itu pada psikiater di panti rehabilitasimu?”
“Tentu saja dan aku tahu ia setuju denganku. Kalau tidak, mengapa aku dilepaskan dan kembali ke sekolah?”
Jenna memakai topengnya, “Kalau begitu aku akan menjadi Jenna ... ah bukan, nama itu tidak cocok. Jana ... Ya, Jana The Killer. Dan kau ...”
Jenna memasangkan topeng ke wajah Theo, “Kenapa kita tidak pakai nama aslimu saja, Theodora Nina Ivanov.”
“Aku lebih suka nama Nina. Nina The Killer.” Theo tersenyum dari balik topengnya.
Dan tawa kedua gadis itu mengawali malam-malam panjang mereka sebagai penerus Jeff dan Jane The Killer.