Senter polisi menyinari mobil Cadillac itu. Cairan merah yang jelas2
darah itu menutupi bagian depan mobil. Banyak sekali, bak dituang dari
sebuah ember. Terdapat jejak darah yang mengarah ke hutan di dekat
pantai.
“Astaga ... Ini mobil milik Peter, adik Randy. Aku sangat mengenalinya.”
“Randy? Anak yang dibunuh oleh Jeff The Killer itu?” tanya opsir yang menemaninya.
“Dimana pengendaranya?”
“Well,
ini mobil sport jadi jelas hanya bisa memuat dua orang. Namun kami
masih mencari para penumpangnya, Pak. Apa menurut anda ini perbuatan
....”
Tiba2 terdengar suara gemerisik dari arah semak2 di belakang mereka.
Para polisi segera mempersiapkan senjata mereka.
“Siapa di sana? Kelurlah!” seru salah satu polisi.
Mereka berjalan mendekat dengan perlahan.
Salah seorang polisi menyibak semak2 itu dan melihat seorang gadis menangis pelan dengan rambut acak2an.
“Astaga, itu Amy Lee.”
***
Liu segera menghampiri Adam begitu ia sampai di rumah sakit.
“Dimana Amy Lee?”
“Ia ada di lantai 4, tapi polisi menjaganya ...”
Liu segera berlari ke dalam lift.
“Liu, hei tunggu! Kau tak bisa kesana!” Adam mengejarnya, namun pintu lift keburu tertutup.
Liu
mencari di setiap kamar hingga melihat sebuah ruangan yang dijaga
polisi. Ia tiba di depan ruang itu dan melihat Amy di dalam, ditemani
kedua orang tuanya.
“Hei, Nak!” sang kepala polisi mencegatnya, “Kau tak bisa masuk. Ia dalam perlindungan saksi.”
“Apa yang terjadi dengannya?” seru Liu.
“Seseorang membunuh Peter dan Amy adalah saksinya, jadi ...”
“Apa?” Liu menatap mata polisi itu, “Apa ini perbuatan ....”
Ayah
Amy marah melihat kedatangan Liu dan segera mencengkeram lengannya,
“Kakakmu yang melakukan semua ini! Mengapa? Mengapa ia melakukan semua
ini pada putriku?”
“Mr. Lee, tenanglah!” sang kepala polisi berusaha memisahkan mereka berdua, “Anak ini tak ada hubungannya dengan semua ini.”
“Hahahaha ...” terdengar suara tawa. Mereka semua menatap ke arah Amy.
Sambil menyisir rambutnya, ia tertawa.
“Kakakmu
mengatakan sesuatu kepadaku di dalam hutan malam itu, Liu.” gadis itu
tersenyum dengan tatapan kosong. Sepertinya semua trauma dari kejadian
tadi malam telah merusak jiwanya.
“Katanya ia akan mengejarmu. Ia akan membunuhmu. Namun sebelum itu, ia akan terlebih dahulu membunuh orang2 yang kau sayangi.”
Tawanya berhenti dan ia berkata dengan tatapan tajam, “Ia akan membuat semua orang di kota ini membayar atas penderitannya.”
Liu hanya menatap gadis itu.
Tiba2 ia menjerit sambil menjambak rambutnya.
“Tidaaaaaaaak! Ia ada di sana! Ia memegang pisau! Ia akan membunuhku!” Amy berteriak seperti orang gila.
“Amy, tenanglah. Jeff tidak ada di sini!” ibunya berusaha meyakinkannya, namun percuma.
Dengan histeris tiba2 ia berdiri di atas ranjang dan langsung melompat keluar dari jendela yang terbuka.
“AMY! TIDAAAAAAAAK!!!!”
***
Hujan mengguyur upacara pemakaman itu. Para pelayat mengenakan payung, namun Liu hanya membiarkan tubuhnya basah oleh hujan.
Warna
hitam di langit sangat serasi dengan suasana duka yang tengah
menyelimuti hatinya. Matanya hanya tertatap pada orang2 yang
mengelilingi batu nisan Amy Lee. Peti matinya telah dimasukkan ke dalam
tanah dan para pelayat kini tengah berkumpul untuk mendoakan arwahnya.
Liu tak sadar seorang gadis menghampirinya dan memayunginya dari tetes hujan.
“Aku ikut berduka cita.” kata Tessa. “Aku baru saja tahu kalau dia dulu pacarmu.”
Liu tak menjawab.
“Kenapa? Kenapa Jeff melakukannya?” Liu menoleh ke arah Tessa.
“Kurasa
ia tidak mengincar Amy, Liu. Dia pasti berencana membunuh Peter. Dia
adalah adik Randy, bukan? Kurasa ia berusaha balas dendam dan Amy
adalah, yah ... collateral damage.”
Tessa menggandeng tangan Liu, “Ayolah pulang. Upacara pemakaman sudah hampir selesai.”
***
“Kenapa anak itu datang ke sini? Benar2 tak tahu malu.” Mr. Gardnier menatap punggung Liu ketika ia dituntun pergi.
“Liu
tak ada hubungannya dengan semua ini.!” sang kepala polisi menatapnya
dengan marah.” Ia adalah korban, sama seperti orang tua Amy dan Peter.
Jeff membunuh orang tuanya dan juga berusaha membunuhnya. Aku dulu di
sana! Aku polisi yang pertama datang ke rumah Jeff malam itu. Aku
melihat anak itu terbaring berlumuran darah di tempat tidurnya dan
langsung membawanya ke rumah sakit. Beruntung dokter berhasil
menyelamatkan nyawanya. Perasaan Liu sama seperti perasaan semua orang
yang ada di sini!”
“Huh,” cibir Mr. Gardnier, “Kau seharusnya tak
perlu terlalu bersimpati dengan anak itu. Apa kau juga memikirkan orang
tua Peter? Mereka telah kehilangan Randy dan sekarang mereka harus
menanggung pedih karena kehilangan satu anak lagi? Dimana mayat Peter,
apa kau menemukannya? Orang tuanya ingin segera memakamkannya di samping
makam kakaknya.”
“Kami masih mencarinya, Mr. Gardnier.”
“Apa ada kemungkinan anak itu masih hidup?”
“Sepertinya
mustahil. Ada banyak sekali darah yang ditemukan di TKP. Semuanya
bergolongan O negatif, sama seperti Peter. Itu adalah golongan darah
yang langka, sehingga bisa dipastikan itu milik Peter. Saya takut, tak
ada yang bisa selamat setelah kehilangan darah sebanyak itu. Tak ada
....”
“Sama seperti saat kau mengatakan Jeff The Killer sudah mati?”
Sang kepala polisi terdiam.
***
“Kudengar
keluarga Peter sudah mengadakan upacara pemakaman simbolik. Mereka
akhirnya merelakan anak mereka. Kasihan, tubuh Peter pasti sudah
tercerai berai sekarang dan mustahil ditemukan. Lagipula banyak binatang
liar di hutan itu ...”
“Adam, kumohon hentikan!” seru Liu, “Aku tak mau mendengarnya.”
“Sori ... Sori ...”
“Jadi, apakah Keith datang ke pemakaman Peter?” tanya Liu.
“Kenapa kau tiba2 peduli dengannya?”
“Keith
dan Randy, kakak Peter, dulu bersahabat kan? Jadi kurasa Keith pasti
ada di situ, membual tentang bagaimana seharusnya ia membunuh Jeff dari
dulu.”
“Kurasa tidak. Kau tidak tahu keluarga Randy juga menyalahkan Keith atas kematian Randy?”
“Hah, kenapa bisa?”
“Keluarga
Randy tak pernah setuju Randy bergaul dengan berandalan seperti Keith.
Mereka menganggap jika Keith tidak menjadikan Randy anak nakal, mungkin
ia tidak akan mati.”
Liu terdiam. Tak ada gunanya saling menyalahkan. Tak ada yang mampu mengubah masa lalu.
Liu juga merasakan stigma itu setiap hari.
Pemuda itu menoleh mendengar suara berdenting yang keras dari sampingnya. Ternyata itu Tessa.
“Hei, kau duluan ke kelas saja, Adam.” kata Liu, “Nanti aku menyusulmu.”
Adam mengisyaratkan OK dengan jari2nya dan Liu segera menghampiri Tessa.
“Hei, butuh bantuan?”
Tessa menoleh dan girang melihat wajah pemuda itu, “Kebetulan sekali, life saviour! Aku kesulitan membuka lockerku.”
“Mana biar aku bantu.”
Tiba2 seorang gadis berwajah Latin mendatangi mereka. Ia adalah Marisol.
“Hei, apa yang sedang kalian lakukan?” tanyanya.
“Ah, aku tak bisa membuka lockerku. Kuncinya entah mengapa tiba2 menjadi tidak pas.”
Marisol tertawa, “Kurasa begitu karena itu lockerku.”
“Oh, maaf!” wajah gadis itu memerah, “Tuh kan aku salah lagi. Aku anak baru di sini jadi ...”
“Tak apa-apa.” kata Marisol dengan ramah, “Aku juga sering keliru kok.”
“Hei!
Apa yang kau lakukan!” tiba2 Keith dengan dua temannya, Craig dan
Gavin, segera menghampiri mereka. Keith menuding wajah Liu. “Marisol,
apa dia mengganggumu?”
“Tidak, Keith. Kau salah paham ...”
Namun
Keith tampaknya tak tertarik mendengarkan penjelasan Marisol, “Kau!
Jangan dekati pacarku lagi! Satu inchi-pun, kau dengar!”
“Keith,
kamu apa2an sih?” Marisol segera menarik Keith dan kedua temannya pergi.
Ia sempat menoleh ke arah Liu dan Tessa serta berbisik, “Maaf ya.”
Meeka
berempat menjauh dan Tessa menggertak pemuda itu dari belakang, “Apa2an
sih orang itu? Kasar sekali? Kenapa gadis sebaik itu mau dengan pemuda
sekasar dia?”
“Itu Keith dan pacarnya, Marisol. Dia memang seperti itu orangnya.”
“Keith?” Tessa menoleh, “Keith ... Keith yang itu? Kurasa aku sekelas dengan adiknya, Kevin di kelas Sejarah.”
Tessa berjalan dengan Liu untuk mencari lockernya, “Jadi, ada kabar baru tentang pembunuhan itu?”
“Jenazah
Peter masih belum ditemukan, tapi orang tuanya sudah menyerah. Dan
pembunuhnya masih belum tertangkap, jadi ya ... kurasa itu berarti belum
ada kemajuan. Oya, Tessa ... jika ini tidak menimbulkan trauma bagimu,
aku ingin bertanya ...”
“Ya, silakan saja.”
“Apa kau juga ada di sana saat pesta itu ... pesta ulang tahun Billy dimana Jeff ....”
Liu tak mampu meneruskannya, namun Tessa mengerti maksudnya.
“Aku
ada di sana, tapi tak melihatnya langsung. Aku ada di lantai atas saat
itu. Aku bisa mendengar jeritan dari kamarku dan yang kuingat, aku
bersembunyi di bawah tempat tidur sambil menangis.”
“Kau
beruntung tak melihatnya langsung, Tes. Seingatku, aku masih ada di
kantor polisi saat itu. Aku sedang ditahan dan begitu dilepaskan aku
sangat gembira. Namun kegembiraanku itu sirna ketika mendengar Jeff
telah ...”
“Oya, ada hal lain yang kuingat dari pesta itu.”
“Apa itu?”
“Well, aku mendengarnya sih dari orang2,. Pada saat Jeff melakukan ... yah, kau tahu ... tak ada seorangpun yang datang menolong.”
“Apa?”
“Ya,
padahal ada banyak orang di sana. Anak2, bahkan orang tua, namun mereka
semuanya seakan terpaku dengan kejadian itu. Tak ada yang menolong Jeff
saat ia di-bully. Dan tak ada yang menolong Randy dan Troy saat mereka
....” Tessa terdiam sejenak, “Itu ... itu sangat mengerikan ...”
Liu akhirnya berkata, “Maafkan aku ... seharusnya aku tak mengingatkanmu.”
Suara bel berbunyi.
“Ah, ayo kita harus segera menemukan lockermu sebelum guru datang!”
***
Craig duduk dan berniat mencoba mengangkat barbel di ruangan gym sekolah.
“Hei, Craig!” kata Gavin. “Menyingkirlah! Kau tahu kan hanya Keith yang boleh memakainya. Dia big boss di sini.”
“Yeah, tapi kita kan satu geng dengannya. Masa aku tidak boleh mencobanya?”
“Pokoknya hati2 saja kalau dia sampai tahu!”
“Ah,” Craig berbaring di atas alat itu, “Persetan dengannya!”
Craig
berusaha mengangkat barbel yang tersangga di atasnya. Ketika ia
mengangkatnya, tiba2 dia merasa kram karena beban yang diangkatnya jauh
lebih berat ketimbang dugaannya.
“Si ... sial ....seharusnya tak seberat ini ... “
“Craig, ada apa?” Gavin menyadari ada sesuatu yang aneh.
“A ... aku tak kuat mengangkatnya ...”
Barbel itu meluncur dari tangan Craig dan melesat langsung ke lehernya, menghancurkannya dan langsung memutuskan kepalanya.
***
Para
murid masih bergerombol di depan ruang gym, walaupun polisi sudah
menaruh pita kuning. Polisi masih menanyai Gavin, satu2nya saksi mata
yang terlihat masih shock atas kematian sahabatnya.
Liu dan Tessa datang dan bertanya pada Adam, yang sudah berada di sana sejak tadi.
“Adam, ada apa ini? Kudengar ada insiden di ruang gym?”
“Barbel
yang diangkat Craig meleset dari pegangannya dan membunuhnya. Polisi
sedang menyelidikinya. Katanya beban di barbel itu terlalu berat. Tak
ada yang bisa mengangkatnya.”
“Jadi ini kecelakaan?”
“Ah,
kau ini sama sekali tdak ada bakat jadi detektif!” desah Adam, “ Ada
yang mengutak-atik barbel itu. Dan barbel itu hanya boleh dipakai oleh
Keith, tahu kan, si kepala preman itu.”
“Apa? Jadi itu artinya ... ”
“Ya, ada yang berusaha membunuh Keith dan ia salah sasaran.”
***
Keith
masih terguncang atas kematian sahabatnya, Craig pada hari sebelumnya.
Marisol mengenggam tangannya, berusaha menghiburnya. Mereka kini duduk2
di taman depan sekolah mereka.
“Aku tak percaya dia sudah tiada. Padahal, siangnya kami masih bercanda bersama.... Siapa? Siapa yang ingin membunuhku?”
“Keith, itu bukan salahmu.” kata Marisol dengan lembut, “Kau harus tegar.”
Tiba2 Gavin mendatangi mereka.
“Gavin? Aku pikir kau libur hari ini?”
“Yah, polisi menanyaiku sepanjang hari ini. Bro, aku bisa pinjam mobil Porsche-mu?”
“Lalu aku pulang naik apa?”
“Pakai mobilku,” Gavin melemparkan kuncinya, “Ayolah kumohon, sejak kematian Craig aku ...”
“Ya,
ya .... aku mengerti! Ini pakai saja!” Keith melemparkan kunci mobilnya
ke arah Gavin. Ia menangkapnya dengan sigap dan berterima kasih. Lalu
Gavin segera meluncur ke mobil sport mewah milik Keith.
“Dasar
bajingan itu,” ucap Keith dengan geram, “Craig baru saja meninggal
kemarin dan ia malah memanfaatkan simpati orang2 untuk mendapatkan
kencan.”
Tiba2 terdengar bunyi ledakan yang amat keras dari arah
parkiran. Keith yang terkejut segera menggunakan tubuhnya untuk
melindungi Marisol dari efek ledakan. Mereka berdua terjerembap ke
tanah.
Keith menoleh. Ia bisa merasakan panasnya ledakan itu dan menoleh, hanya untuk melihat sebuah mobil tengah terbakar hebat.
“Ya Tuhan, Keith!” jerit Marisol begitu menyadari apa yang terjadi, “Itu mobilmu!”
“Oh tidak, Gavin! GAVIN!!!”
***
Liu mengetuk pintu. Tessa, lagi2 dengan wajah cerah, membukakan pintu.
“Liu, aku tidak membuatmu repot kan? Orang tuaku sedang pergi jadi aku butuh bantuan dengan dapur.”
“Sama
sekali tidak.” Liu tersenyum, “Justru aku lebih senang berada di sini
bersamamu ketimbang di rumah.” Wajah Liu memerah dan ia menjadi salah
tingkah ketika sadar apa yang baru saja ia ucapkan, “Maksudku lebih enak
mengobrol di rumah sendirian daripada bosan sendirian di kamar.”
“Hahaha.
Ayolah masuk!” Tessa tertawa. Liu merasa tawa gadis ini telah
mencerahkan hari2nya. apalagi setelah kematian Amy, hanya senyum gadis
ini yang membuatnya lebih tenang.
“Jadi ...”
Mereka berdua
duduk di meja makan setelah usai makan dan membereskan dapur. Mereka
berdua sebenarnya tak enak membicarakan tentang kematian2 yang terjadi
di sekitar sekolah mereka, namun tak ada topik lain yang bisa
didiskusikan di kota sekecil ini.
“Jadi apa mereka sudah menemukan pelaku pembunuhan Craig dan Gavin?”
“Belum
ada petunjuk. Siapapun bisa menanam bom saat pelajaran berlangsung.
Sangat sepi di sana saat sekolah sedang berjalan, kau tahu.”
“Tapi
lihat sisi baiknya, sekolah libur selama seminggu. Semoga mereka
menggunakan waktu itu untuk mengecat ruang gym. Bekas cipratan darah itu
benar2 mengerikan.”
“Ya,” Liu tertawa getir, “Tapi kau tahu, ada sesuatu yang aneh dengan semua ini.”
“Apa itu?” Tessa tampak tertarik mendengarnya.
“Kurasa ini bukan perbuatan Jeff.”
“Apa?” Tessa tampak terkejut, “Mengapa kau mengatakan seperti itu?”
“Jeff
dan pembunuhan2 ini sangat .... berbeda. Usaha pembunuhan terhadap
Keith ini sangatlah terencana dengan rapi, sedangkan Jeff ... ia
membunuh dengan spontan. Aku ingat kata2nya ... saat ia berusaha
membunuhku ... tidurlah, pergilah tidur ...”
Tessa mengenggam tangan Liu, “Kau tak perlu menceritakannya jika kau tak mau ...”
“Tidakkah kau mengerti, Tessa? Kurasa Jeff sudah mati dan ada yang berusaha mengkambing-hitamkan dia atas semua kejadian ini.”
“Copycat killer maksudmu?”
Liu
tampak berpikir, “Mungkin saja. Tapi apa tujuannya? Jika ia berusaha
membunuh Peter dan Keith, tak ada orang selain Jeff yang memiliki motif
sempurna untuk membunuh mereka. Peter adalah adik Randy yang sudah
membully-nya dan Keith adalah orang yang membakar wajahnya. Tapi ah,
seperti ada yang kurang di sini ...”
Tiba-tiba telepon genggam Liu berbunyi.
“Maaf, aku harus mengangkatnya. Ini dari Adam”
“Tak apa, Liu.”
Liu menerima telepon itu. “Hai, Adam. Ada apa? Tumben kau meneleponku malam2 begini?”
“Hei
bro, kau dimana? Aku ada di rumah sakit sekarang dan sedang memeriksa
file2 di sini. Aku menemukan sesuatu yang ganjil. Kurasa kau harus
melihatnya. Aku memiliki teori tentang siapa dalang dibalik semua
pembunuhan ini. Seperti katamu, ini mungkin bukan perbuatan Jeff.”
“Benarkah, apa itu?” tanya Liu penasaran.
“Aku tak bisa mengatakannya. Datanglah kesini supaya kau bisa langsung melihatnya.”
“Hei, ini bukan trik kotormu supaya aku datang dan menemanimu main kartu di sana kan?”
“Bukan, bodoooooh! Cepatlah ke sini, kutunggu!”
“Baiklah, bro!” Liu menutup teleponnya. “Maaf, kurasa aku harus pergi sekarang, Tes.”
“Ada apa dengan Adam? Apa terjadi sesuatu dengannya?”
“Katanya
dia punya bukti yang bisa membantu kita memecahkan misteri pembunuhan2
ini. Dia memintaku segera ke rumah sakit untuk menemuinya. Mungkin bukan
apa2. Kau tahu kan dia suka sok detektif seperti ini.”
Tessa tertawa, “Baiklah. Terima kasih atas bantuanmu, Liu.”
***
Liu
sampai di rumah sakit. Ini pertama kalinya ia datang ke sini sejak
kematian Amy. Ia merasa trauma, terutama melihat lapangan parkir dimana
dulu tubuh gadis itu tergeletak tak bernyawa. Namun tak ada pilihan
lain, ia harus menemui Adam sekarang.
Ia masuk. Para penjaga
sudah mengenalinya sehingga membiarkannya masuk. Di dalam sudah mulai
sepi. Jam berkunjung sudah habis. Rumah sakit juga memiliki peraturan
yang sangat ketat tentang para penjenguk. Hanya ada beberapa suster jaga
yang masih berjalan kesana kemari.
Adam biasanya menunggui
ayahnya di ruangan di lantai 4. Liu tahu untuk pergi kesana, ia harus
melewati ruangan dimana Amy mengakhiri hidupnya, namun ia tak punya
pilihan lain.
Ia benar2 benci rumah sakit. Adam biasa memintanya
dengan mata berkaca2 untuk menemaninya di sini dan ia hanya melakukannya
beberapa kali. Orang tua Adam sudah bercerai dan hanya dia anak yang
memutuskan ikut dengan sang ayah. Daripada sendirian di rumahnya yang
besar, Adam lebih memilih menunggui ayahnya bekerja hingga larut malam
di rumah sakit ini. Lagipula ada wi-fi di sini yang membuatnya betah.
Liu
hampir tak menjumpai seorangpun di lantai 4. Ia berjalan masuk ke ruang
rekreasi, ruangan dimana para dokter sering berkumpul di waktu
istirahat. Ada beberapa sofa yang nyaman serta televisi di sana. Tempat
ini selalu membuat Adam betah.
Namun saat ia datang, lampu dalam keadaan mati. Ini aneh, pikir Liu.
“Adam, kau di sana?”
Liu berusaha mencari tombol lampu ketika tiba2 ia tersandung sesuatu.
“Aduh!” seru Liu. Ia menoleh untuk melihat apa yang telah membuatnya terjatuh.
Matanya membelalak begitu menyadari ada mayat yang terbujur kaku di sampingnya.
Itu mayat Adam.
“Adam!
Adam!” seru Liu dengan panik. Ia berusaha menekan dada Adam, berusaha
menyelamatkannya, namun percuma. Liu tak merasakan denyut jantung
sahabatnya itu. Darah membasahi dada Adam dan kini tangan Liu saat ia
berusaha menyelamatkannya.
“Angkat tanganmu!” seru seseorang dengan suara keras. Ia mendongak dan melihat beberapa polisi menodongkan senjata ke arahnya.
Mereka menatap Liu yang tangannya berlumuran darah dengan penuh rasa curiga.
“Demi Tuhan, apa yang telah kau lakukan?”
TO BE CONTINUED