Pembunuh itu menyeringai, puas melihat wajah terkejut Liu. Selama ini
ia berhasil mengecoh semua orang. Tak ada seorangpun yang menduga
ia-lah sang pembunuh sebenarnya.
“Ta ... tapi kau sudah mati!”
Pembunuh itu masih tertawa. “Aku tahu! Aku berhasil mengelabui kalian kan, hahahaha ...”
Marisol yang ketakutan akhirnya membuka mulutnya, “Siapa dia, teman2? Siapa dia?”
Marisol menoleh dan terkejut setengah mati,
“Demi Tuhan! PETER!”
Peter, adik Randy.
Peter, kekasih Amy Lee.
Peter, yang diduga sebagai korban pertama pembunuhan2 itu setelah Jeff dinyatakan mati.
Peter, yang darahnya ditemukan di mobil, namun mayatnya tak pernah ditemukan.
Peter. Ia-lah pelakunya.
“Kejutan!” seru Peter sambil membuang topeng keramik itu ke atas lantai.
“Tapi
kau ... darah itu ... astaga,” Liu bagai tersambar petir ketika
menyadarinya. “Itulah yang ditemukan Adam malam itu. Itu yang coba ia
beritahukan kepadaku. Kantung darah! Ia pasti menyadari ada kantung
darah O negatif yang hilang dari rumah sakit. Kau mencurinya untuk
memalsukan kematianmu!”
“Ah, Adam, si bajingan kecil itu! Aku
benar2 tak merencanakan untuk membunuhnya malam itu. Aku jadi terpaksa
membunuhnya gara2 ia terlalu ingin tahu. Dan gara2 malam itu, aku jadi
merasa kesal dan yah .... mungkin terlalu berlebihan. Aku beraksi
terlalu sering malam itu. Tapi sudahlah, yang penting kalian semua
berkumpul di sini untuk adegan penutupnya. Nah, sekarang ...”
Ia
segera meletakkan kembali bilah pisaunya ke depan leher Marisol. “Untuk
adegan klimaksnya, kau harus membuat pilihan sulit Liu. Kau memilih
Tessa atau Marisol? Ayoooo, pilih salah satu! Yang kau pilih akan
selamat, silakan saja membawanya pulang bersamamu sebagai hadiah.
Sedangkan yang kurang beruntung ..... uuuuuh, maaf sekali harus berakhir
seperti daging cincang. Hahahaha ....”
“Teman2, jangan pikirkan aku!” seru Marisol sambil menangis, “Kalian pergi saja selamatkan diri kalian!”
“Tidak,
jangan terkecoh, Liu!” seru Tessa. “Apapun yang terjadi, ia tetap akan
membunuh kita semua di sini! Ia takkan membiarkan siapapun tahu
identitas aslinya!”
Perkataan Tessa memang tepat, pikir Liu, ia harus mengulur waktu, sedikit lagi waktu, hingga para polisi datang.
“Tunggu dulu! Sebelum itu, jelaskan dulu mengapa kau melakukannya? Apa motifmu melakukan ini semua!”
“Aaaah, kau ini selalu mengulur2 waktu ya?” Peter kelihatan kesal.
“Kumohon,
aku harus tahu. Segala perbuatanmu ini ... benar2 hebat! Kau bahkan
bisa mengecoh polisi. Bahkan Jeff The Killer yang aslipun tak bisa
melakukannya. Ceritakanlah, please!” Liu menyanjungnya, siapa tahu dengan begitu Peter akan melakukan permintaannya.
“Yeah, kurasa tidak ada salahnya.” Peter menarik pisaunya lagi dari depan leher Marisol. “Kau tahu Liu, aku ada di pesta itu.”
“Pesta?”
“Pesta
ulang tahun Billy. Pesta dimana Jeff memulai habit buruknya, menikam
orang hingga mati. Aku ada di sana, di pesta itu. Aku melihat kakakku
mati, Liu, KAKAKKU MATI! Oleh kakakmu! Dan apa yang orang lain lakukan?
TAK ADA! Mereka hanya diam saja di sana. Ia mati kehabisan darah di sana
dan tak ada yang mau menolongnya. BAHKAN KEITH! Ia berdiri hanya di
sana, menyaksikan Jeff terbakar dan membiarkan Randy sekarat!”
“Karena itu .... karena itu kau berusaha membalas dendam kepada kami ?”
“Hahaha
dendam?” Peter tertawa bak orang gila, “Oh tidak, kau salah mengerti,
Liu! Aku justru senang kakakku mati saat itu. Aku bersyukur. Kau tahu
apa yang dia lakukan di rumah saat tak ada anak lain yang bisa
di-bully-nya? Ia mem-bully AKU! Dia bahkan pernah menyuruhku makan
makanan anjing dan menakutiku hingga aku terkencing2 di celana. Namun
semua berakhir ketika Jeff menghabisinya hari itu. Di depan mataku ....”
Peter menghela napas sebentar dan berkata,
“JEFF THE KILLER ADALAH PAHLAWANKU.”
Semua terdiam ketika mendengarnya.
“Sejak
itu aku mengaguminya! Aku menganggapnya dewa! Ia tak seperti orang2
lain yang hanya diam menyaksikan orang lain menderita, seperti orang2
yang ada di pesta itu. Ia adalah man of action! Dia bertindak! Ia membela harga dirinya ketika ditindas. Ia benar2 adalah role model
bagiku. Selama ini aku ingin menjadi seperti dia! Hingga pada malam
dimana ia terbunuh, akhirnya aku melihat kesempatan untuk menjadi
seperti dirinya. Itu seperti sebuah wangsit yang turun dari langit. Aku
akan menggantikannya! Aku akan menjadi pewaris tahtanya! Dan suatu saat,
aku akan dikagumi juga, sama seperti aku selalu mengagumi Jeff The
Killer.”
Ia berbicara seolah2 ia sedang berpidato, membuat Liu akhirnya menyadari sesuatu.
“Kau sakit jiwa!”
Tessa
akhirnya menyadari mengapa Liu terus mengulur waktu. Ia melihat Keith
megendap-endap di belakang Peter. Tampaknya Jeff palsu itu tak menyadari
kehadirannya.
Serta-merta, Keith menyergap Peter. Tubuh mereka
berdua terbanting di lantai dan mereka berdua bergelut. Pisau secara
otomatis terjatuh di lantai dan Liu menggunakan kesempatan itu untuk
melepaskan seluruh ikatan Tessa.
“AAAAAAAAARGH!!!!” terdengar
teriakan Keith. Peter telah menyobek luka menganga di betis Keith hingga
ia tersungkur kesakitan. Peter segera bangkit dari lantai dan menendang
perutnya.
Begitu terlepas Tessa langsung meraih pisau yang ada di lantai. Liu berada di belakangnya, berusaha melepaskan ikatan Marisol.
Peter berjalan mendatangi mereka dengan langkah yang tenang. Langkah seorang psikopat.
“Tessa! Tusuk dia, Tessa! Kau bisa melakukannya, aku yakin!” seru Liu yang masih sibuk membuka ikatan Marisol.
“Ya, aku bisa melakukannya!” bisik Tessa.
Tiba2 gadis itu melakukan hal yang tak seorangpun duga.
Ia berbalik dan menusuk perut Liu bagian samping.
Pemuda
itu langsung tersungkur berlumuran darah. Marisol menjerit histeris.
Keith juga menatap tak percaya pada plot twist terakhir ini.
Ia tercengang ketika Peter bergabung dengan Tessa yang tengah memegang pisau, seakan-akan mereka telah berteman lama.
Semuanya menjadi clear di pikiran Liu. Peter tak mungkin membunuh di 3 tempat sekaligus dalam satu malam. Ia pasti memiliki partner.
“Kau
...” rintih Liu, “Kau yang membunuh paman dan bibiku ... Bau yang
tercium ketika aku masuk ke rumah saat itu, ... itu adalah bau maple dan
cendana .... dari rumahmu ....”
Tessa hanya tersenyum.
“Dan
Adam ....” Liu kembali teringat, “Ya, Tuhan .... aku memberitahukannya
kepadamu .... aku yang menjerumuskannya dalam bahaya ...”
“Jangan
terlalu keras pada dirimu sendiri, Liu.” kata Tessa, “Kau benar, aku
yang memberitahukan Peter tentang Adam sehingga ia bisa segera
membungkamnya. Tapi akan kukatakan satu hal jika ini bisa membuatmu agak
tenang dan tidak merasa bersalah ...”
Tessa menunduk dan
membisikkan sesuatu ke telinga Liu, “Tanpa ia tahu rahasia kecil
kamipun, kami tetap akan menghabisinya. Itu bagian dari rencana kami.”
“Tapi kenapa .... kenapa ....”
“Aduh,” Tessa berbalik menatap Peter, rekannya dalam kejahatan, “Apa aku juga harus menjelaskannya kepadanya?”
“Itu permintaan terakhir orang yang sudah mau mati, Tes. Sudah , lakukan saja!”
Tessa kembali menatapnya dan berjalan menjauh sambil memainkan pisaunya.
“Baiklah akan kuceritakan semuanya. Kau masih ingat bukan ketika kukatakan kakakku ada di luar kota untuk kuliah? Well, semua itu bohong. Kau tahu dimana ia berada dimana sekarang?”
Liu tak menjawab.
“Dia
ada di rumah sakit jiwa! Semenjak kejadian di pesta ulang tahunnya itu,
Billy menjadi gila! Dan orang tuaku ... mereka memberikan perhatian
penuh kepadanya sejak saat itu. Mereka tak lagi peduli lagi pada gadis
kecil yang meringkuk ketakutan di bawah tempat tidur! Mereka hanya
peduli pada Billy kecil. ‘Traumanya lebih besar ketimbang yang kamu
alami, karena ia menyaksikannya langsung’ itu kata mereka! Mereka
terus-menerus mencurahkan kasih sayang kepada Billy, sedangkan aku ...”
jeritnya, “Aku dilupakan!”
Tessa mencoba menenangkan dirinya
kembali, “Lalu aku mulai beranjak besar dan akhirnya aku tahu salah
siapa ini semua. Ini salah Jeff dan berandalan2 itu!”
Tessa menuding Liu,
“Keluargamu telah menghancurkan keluargaku. Karena itulah aku menuntut balas. Dan juga kau!”
Tessa balik menuding Keith,
“Gara2 anak manja seperti kau, Jeff menjadi pembunuh dan Billy menjadi trauma. Jadi ini semua juga salahmu. Namun ....”
Tessa
kembali memain-mainkan pisaunya bak psikopat. “Kurasa terlalu mudah
jika aku langsung membunuh kalian. Jadinya kalian takkan terlalu
menderita ... kalian takkan merasakan sakit yang kau rasakan.... Jadi
kuputuskan untuk merenggut satu-persatu orang yang kalian sayangi.”
“Amy Lee ... sejak awal kau memang menargetkannya ....” bisik Liu. Akhirnya ia mengerti. “ Lalu paman dan bibiku ...”
“Teman-temanku,” tambah Keith, “Kevin, Marisol ... Semua ini adalah rencanamu.”
“Ya,
dan kau pikir kaulah target utamanya?” bisik Tessa, bangga pada dirinya
sendiri, “Aku hanya mengatakan pada Craig saat jam istirahat bahwa ia
perlu menggunakan barbel agar tubuhnya semakin bagus. Kemudian aku
mengajak Gavin berkencan dengan mobil porsche-mu. Ah, laki2 .... benar2
mudah ditebak. Sedangkan untuk Amy Lee, aku mencekokinya dengan narkotik
jenis halusinogen yang kemudian membuatnya gila dan bunuh diri. Begitu
mudahnya ...”
“Rencana yang brilian bukan? Beruntung sekali dia
bertemu denganku ....” Peter memeluk Tessa dari belakang, “Aku
mendapatkan identitas baru dan bebas membunuh tanpa seorangpun curiga.
Sedangkan Tessa bisa memuaskan hasrat balas dendamnya. Aku menyebutnya
‘win win solution’ hahaha!”
“Nah, sekarang mari kita lakukan
permainan, Keith!” Tessa berjalan menghampiri Marisol dan menekankan
pisaunya ke leher gadis itu. Marisol langsung menjerit.
“Tidak! Jangan!” seru Keith.
“Ayo pilih, kau ingin melihatnya mati atau kau memilih mati dulu?”
“Bunuh aku dulu!” seru Keith tanpa ragu2.
“Apa?”
mata Liu dan Keith bertatapan. Ia tahu Keith hanya mengulur waktu agar
Liu memiliki kesempatan untuk membebaskan Marisol. Namun ia tak bisa
melakukannya, perutnya terluka parah! Ia menatap Keith dan menggeleng,
namun dari sorot matanya, Keith tampak sangat yakin terhadap kemampuan
Liu.
Liu takut akan mengecewakannya.
“Baiklah kalau itu
pilihanmu.” Tessa berjalan menghampirinya dengan sebilah pisau di
tangannya, “Kalau begitu, mari kita mulai!”
“Hei, tunggu! Serius kau akan membunuhnya dengan itu?” seru Peter.
“Kau punya ide yang lebih baik?”
“Mari
kita buat kematiannya sebagai sebuah ironi!” Peter mengambil dua buah
botol dari pojok ruangan dan menyiramkannya ke tubuh Keith. Dari baunya
itu adalah bleach dan alkohol, dua bahan yang juga Keith gunakan dulu
untuk membakar tubuh Jeff.
“Keith, tidak!” Liu mendengar jeritan Marisol, “Cepat lari!”
“Bye bye, Keith!” kata Peter sambil menyalakan korek api dan menjatuhkannya ke tubuh Keith.
Di detik terakhir, Keith sempat berpesan,
“Liu, selamatkan Marisol!”
“TIDAAAAAAK!”
seru Liu. Namun terlambat. Api sudah berkobar di tubuh Keith. Tubuhnya
segera menjadi obor. Peter tertawa terbahak-bahak melihatnya, namun ia
tak menduga bahwa Keith mengerahkan segala kekuatan terakhirnya untuk
menerjang tubuh Peter.
“Tidak! Menjauh dariku! TIDAAAAAAK!!!!”
Peter berteriak kesakitan ketika api di tubuh Keith menyambar tubuhnya
dan mulai menjalarinya.
“TIDAAAAAAAK!!!! TESSA, TOLONG AKU!”
Namun Tessa hanya terpaku di sana. Pasti ini semua di luar rencananya, pikir Liu.
Pemuda itu segera memanfaatkannya dengan menjegal Tessa dengan kakinya.
Tessa
segera terjatuh di lantai dan Liu tak membuang-buang waktu dengan
segera bangun secepat mungkin. Ia menahan rasa sakitnya dan melakukan
apa yang harus ia lakukan.
Liu tak pernah memukul wanita
sebelumnya dan ia selalu berjanji pada dirinya sendiri untuk takkan
pernah memukul seorang wanita.
Namun yang ini adalah sebuah pengecualian.
“DASAR WANITA JALANG!!!”
Liu segera menghajar Tessa dengan satu pukulan. Terdengar suara keras ketika kepalanya menghantam lantai dengan kuat.
Gadis itupun langsung tak sadarkan diri. Darah mengalir keluar dari lubang hidungnya dan sudut bibirnya.
Liu
segera berusaha melepaskan ikatan Marisol, sementara gadis itu terus
menjerit ketika melihat tubuh kekasihnya dimakan oleh api. Liu kemudian
segera berlari untuk mencari tabung pemadam kebakaran. Setelah
menemukannya, ia segera menarik pin-nya dan segera menyemprotkannya ke
tubuh dua orang yang terbakar api itu.
Liu hanya bisa tertunduk lesu begitu menyadari mereka berdua tak selamat.
“Tidaaaak ... tidaaaaak ...” tangis Marisol.
Liu memeluk gadis itu, mencoba menenangkannya.
“Maafkan aku, Marisol ... maafkan aku ....”
Dari kejauhan terdengar suara sirine polisi semakin mendekat.
“Akhirnya ....” bisik Liu, “ ... semua sudah berakhir sekarang.”
EPILOG
Malam
itu, Liu bermimpi aneh. Ia memimpikan masa kecilnya bersama Jeff. Ia
teringat dengan 3 pengalaman yang mereka lalui bersama saat mereka masih
kecil.
Liu ingat rumah lama mereka sebelum mereka pindah ke New Davenport.
Waktu
kecil, ia melihat kakakknya, Jeff, dilempari batu dan kerikil oleh
anak2 seusia mereka. Kakaknya saat itu tengah membungkuk di atas
sesuatu. Liu berhasil mengusir mereka dan terkejut melihat seekor kucing
berlumuran darah.
Jeff pasti sedang melindungi kucing itu.
Liu juga bermimpi ketika Jeff membangunkannya tengah malam.
“Kakak, ada apa?”
“Liu, aku mengompol.”
Liu
melihat kasur Jeff basah. Padahal umur Jeff lebih tua setahun dan Liu
saat itu sudah tak pernah mengompol lagi. Jeff terlihat sangat malu. Liu
kemudian menyuruh Jeff tidur di ranjangnya dan Liu menggantikannya
tidur di ranjang Jeff.
“Apa yang kau lakukan?” tanya Jeff.
“Biar ayah dan ibu mengira aku yang mengompol. Tenang kak, aku masih kecil. Mereka takkan memarahi aku.”
Dan mereka berdua tertawa bersama-sama malam itu.
Keesokan harinya, ia melihat Jeff di halaman belakang saat orang tua mereka tak ada. Jeff sedang membakar sesuatu.
“Apa yang Kakak lakukan?” tanya Liu kecil.
“Membakar sepraiku.” bisik Jeff.
“Kenapa?”
“Supaya ayah dan ibu tak tahu soal tadi malam.”
Liu tersenyum, kini ganti kakaknya yang melindunginya.
“Bagaimana jika ayah dan ibu mencari seprai ini?”
“Bilang saja ada maling jemuran mengambilnya.”
Mereka berdua tertawa.
Tawa yang sungguh berbeda dengan tawanya saat ia membunuh orang2.
Kemudian Liu terbangun. Cahaya pagi menyinari wajahnya.
Entah apa maksud semua mimpi ini. Ia tak tahu.
Mungkin ia merindukan Jeff yang dulu.
***
Liu menatap lautan lepas di Devil’s Rock. Di tebing yang membunuh kakaknya.
“Kau
tidak datang di upacara tadi pagi?” sang kepala polisi berjalan
mendekatinya, “Sudah kuduga kau pasti ada di sini. Padahal tadi kami
akan memberikanmu medali dan gelar warga kehormatan karena telah
menyelamatkan nyawa Marisol Gonzalez.”
“Pahlawan yang sebenarnya adalah Keith, Sir.” balas Liu, “Aku tidak pantas menerimanya. Bagaimana kondisi Marisol?”
“Jangan cemaskan dia. Ia adalah gadis yang tegar.”
“Lalu,” Liu masih menatap ombak yang bergulung2 dan senja yang semakin memerah, “Tessa? Bagaimana dengannya?”
“Ada yang aneh dengan kasus ini.”
“Ada apa?” Liu akhirnya menoleh ke arah kepala polisi itu.
“Tessa
mengaku tak pernah merencanakan membunuh Mr. Gardnier. Dan senjata
pembunuhan yang mereka miliki pun tak cocok dengan luka di jenazah Mr.
Gardnier. Di pisau mereka juga tak ada jejak2 darah kepala sekolah, well, maksudku mediang kepala sekolah.”
“Tapi aku melihatnya keluar dari lemari saat itu ...”
“Mungkin
ia menemukan mayatnya lalu melihatmu masuk dan segera bersembunyi di
lemari. Entahlah, hanya pembunuhan kepala sekolah yang tak cocok dengan
semua bukti dan kesaksian mereka.”
“Lalu siapa pelakunya?”
“Kalau
kami harus menyusuri dengan menginterogasi orang2 yang punya motif
untuk membunuh Mr. Gardnier, itu berarti kami harus menanyai seluruh
penduduk kota ini.”
Liu tertawa.
“Jangan khawatirkan kasus ini. Kami akan memecahkannya. Kau sendiri bagaimana?”
“Aku memutuskan menjual rumah itu dan pergi sejauh mungkin dari sini.” Suara debur ombak sesekali meredam percakapan mereka.
“Kau
tahu,” kata sang kepala polisi, “Ini semua bukan salahmu. Jeff sendiri
yang memilih jalan itu. Kau takkan mungkin bisa menghentikan, walaupun
kau adiknya. Kau harus tahu itu.”
Liu menatapnya dengan wajah
berkaca-kaca. Selama ini, hanya dia yang mengerti perasaannya. “Saya
hanya ... saya hanya tak habis pikir ... bagaimana Jeff yang saya kenal,
Jeff yang selalu melindungi saya ... bisa berubah seperti itu.
“Kau pernah dengar ‘Macdonald Triad’, Liu?”
“Apa itu?” Liu tampak tertarik.
“Itu
adalah sebuah teori psikologi tentang perilaku pembunuh berantai saat
kanak2. Hampir semua pembunuh berantai menunjukkan perilaku2 khusus
ketika mereka masih kecil. Perilaku itu ada tiga: membunuh hewan2 kecil,
masih sering mengompol pada usia di atas 5 tahun, serta gemar menyulut
api dan membakar benda2. Anak yang memiliki ketiga perilaku ini saat
masih kecil kemungkinan besar akan tumbuh menjadi psikopat.”
Liu terhenyak.
Kucing itu. Kucing yang ia lihat bersama Jeff dalam kondisi berdarah.
Apa Jeff yang melakukannya? Dan anak2 itu melemparinya batu karena melihat Jeff menyiksa binatang?
Kebiasaan Jeff mengompol dan ....
Seprai yang terbakar itu.
Astaga.
Apa memang Jeff ditakdirkan menjadi ...
“Tentu
tak ada satupun manusia yang ditakdirkan menjadi jahat, Liu. Kau harus
mengerti.” Kepala polisi itu seakan bisa membaca pikiran Liu. “Itu
sepenuhnya pilihan mereka. Namun kadangkala, ada satu kejadian ... satu
peristiwa yang membuat mereka tak tahan lagi dan akhirnya meledak ...
dimana kesabaran mereka akhirnya habis dan mereka membiarkan diri mereka
dikonsumsi oleh keinginan jahat.”
Kepala polisi itu menatap mata Liu.
“Jeff sendiri yang memilihnya. Itu bukan kesalahanmu.”
Liu
terdiam. Ia akhirnya mengucapkan selamat tinggal dan terima kasih atas
segala perhatian yang kepala polisi itu berikan kepadanya sejak ia
kecil.
Mereka berdua berpisah dan menuju ke jalan mereka masing2 ketika secara bersamaan mereka saling memanggil.
“Pak?”
“Nak?”
Mereka berdua tertawa.
“Anda dulu.” kata Liu.
“Jeff The Killer sudah mati.” kata pria tua itu, “Hiduplah dengan tenang sekarang!”
“Saya juga mau mengatakan hal yang sama,” Liu tersenyum, “Jeff The Killer sudah mati. Sekarang kita bisa tidur dengan tenang.”
***
Tessa
tak mengerti mengapa ia harus memakai jaket putih dengan pengikat ini.
Ia tak bsa menggerakkan tangannya. Bahkan ia tak bisa menggerakkan
tubuhnya. Ia merasa tubuhnya juga sudah diikat ke jeruji kasur ini.
Padahal
ia hanya berpura-pura gila untuk mendapat belas kasihan hakim dan
menghindari hukuman mati. Aktingnya sukses dan ia dikirim ke rumah sakit
jiwa ini.
Namun ada yang aneh dengan tempat ini.
Setiap malam ketika ia melihat ke arah jendela kamarnya, ia selalu bisa melihat sebuah wajah.
Wajah putih dengan senyum menyeringai.
Wajah Jeff The Killer.
Ketika
ia menceritakannya kepada para perawat dan dokter, mereka hanya
menganggapnya sebagai suatu gejala kegilaan. Mereka terus memberikannya
obat yang tak pernah mau ia minum. Hingga para suster meminumkannya
dengan paksa.
Namun Tessa masih bisa melihat wajah itu di luar jendela walaupun ia sudah meminum obat.
Apakah dia benar2 sudah gila?
Hujan turun dengan deras di luar. Kilat menyambar-nyambar. Rasanya ada badai di luar sana.
Baguslah,
pikir Tessa di atas ranjang. Jika hujan, wajah itu takkan muncul.
Bahkan Jeff The Killer-pun takkan mau berdiri di tengah hujan hanya
untuk mengawasinya.
Namun suara petir di luar tak bisa membuatnya tidur. “Seharusnya aku tadi meminta obat tidur.” keluh Tessa dalam hati.
Gadis itu hanya menutup matanya tanpa benar2 bisa tidur.
Tiba2 ia mendengar suara pintu dibuka dan langkah kaki menuju ke ranjangnya.
Tessa berpikir, siapa yang datang ke kamarnya malam2 begini.
Ia membuka matanya dan jantungnya nyaris copot.
Di
depannya berdiri Jeff The Killer dengan seringai khasnya. Ia
mendekatnya jarinya ke bibirnya yang selalu tersenyum sambil berkata,
“Sssssst .... tidurlah, gadis manis ... “ katanya sambil mengacungkan pisau tepat di atas dadanya, “ ... tidurlah untuk selamanya ... ”
THE END
Previous