Ayahnya keluar duluan. Ibunya menyusul. Kemudian Liu. Namun apa yang
kubayangkan tentang rupa Jeff tidak jauh-jauh dari apa yang ku saksikan.
Rambutnya gondrong hitam sampai bahu, kulitnya putih bersisik, dan
senyumannya... sama seperti senyumnya dulu di kelas setelah dia memukuli
Randy, Keith dan Troy. Tau-tau dia sudah memandang terpaku ke arahku.
Tepat ke mataku, aku dapat merasakan tatapan membakarnya yang tak
manusiawi dan sadistis merasuk ke dalam sanubariku. Bahkan sampai
sekarang ketika aku mengetik kisah ini, aku masih bergidik jika
mengingatnya. Terasa seperti berjam-jam saat dia menatapku hingga
akhirnya dia pun berpaling. Aku melihatnya berjalan memasuki pintu
didampingi kedua orang tuanya. Aku hampir tak bernafas hingga pintu di
belakang mereka berayun menutup. Orang tuaku datang ke ruang tengah,
lalu menanyaiku apakah ada yang tidak beres. Satu-satunya jawaban keluar
dari mulutku adalah jeritan kencang, dan panjang, setelahnya aku tak
sadarkan diri. Ketika aku bangun, di luar sudah gelap. Orang tuaku tak
ada di kamar. Keadaan rumah sunyi senyap. Aku bangkit berdiri lalu turun
ke lantai bawah. Aku mengenakan gaun tidur yang sebelum aku pingsan
belum aku pakai. Aku berjalan ke dapur. lampunya menyala, yang mana
tidak biasa karena orang tuaku selalu berpesan untuk mematikan lampu
saat akan meninggalkan ruangan. Terdapat secarik catatan di atas meja.
Aku mengambilnya. Pesan yang tercoret acak-acakan pada kertas itu
berbunyi : "Apa kau tidak datang untuk makan malam? teman-temanmu ada
disini juga loh." Tubuhku mulai bergetar hebat. Ku jatuhkan kertas di
tanganku. Aku melangkah menuju jendela ruang tengah untuk melihat
keluar
. Lampu- lampu di rumah Jeff menyala. Aku tahu aku harus pergi ke sana, tapi ketakutan memenuhi pikiranku. Aku menggeleng cepat dan kembali memandang ke luar. Di sana, kulihat Jeff sedang bersandar di jendela rumahnya sambil menenteng pisau di tangan, mengetuk-ngetukan ujung pisaunya ke kaca jendela. Tuk, tuk, tuk Dia masih tersenyum. Tuk, tuk, tuk Aku beringsut mundur menjauhi jendela, tanpa mengalihkan kedua mataku darinya. Kemudian aku langsung berbalik lari ke dapur. Sesaat setelahnya, aku mengintip dari dalam dapur untuk melihat jendelanya, semua yang tampak adalah warna merah melumuri kaca. Aku meneliti ke sekeliling dapur. Semuanya masih tetap berada di tempatnya, tak terkecuali pisau-pisau. Ku sambar satu dan kugenggam erat pegangannya. Kemudian aku meraih telepon untuk mencoba menghubungi 911. Namun salurannya terputus. Aku tak tahu dimana ponsel ayah lagipula apa benda itu juga sudah diperbaiki. Aku tak sudi pergi mencari ke lantai atas. Aku tak mau ditikam dari belakang saat aku sibuk mencari, dan jika aku minta bantuan tetangga, bisa-bisa Jeff melukai salah satu tawanannya. Jadi hanya satu pilihan tersisa. Pergi ke sana, dan melawan Jeff seorang diri. Ku cengkeram gagang pisau lebih erat lalu melangkah ke pintu depan, mengenakan sepatu dan berjalan mendekati ambang pintu. Tanganku tak ingin melepas pegangan pintu saat aku hendak keluar. Tapi aku meneguhkan niatku. Kulepaskan kenob pintu rumahku kemudian berjalan menyeberang menuju rumah Jeff. Setelah aku semakin dekat, aku memperlambat langkah. Lututku mulai gemetaran, keringat membasahi telapak tangan, nafasku memburu dan tersendat sendat, sebelum kusadari, aku sudah berdiri kaku di ambang pintu rumah jeff, terengah engah layaknya seekor anjing. Aku bergerak maju, menyentuh kenob, memejamkan mataku lalu menyentak pintunya membuka. Aku mematung di sana, sambil menenteng pisau di tangan kanan, dan mencengkeram gagang pintu di tangan kiri, terlalu ngeri untuk membuka mata. Hingga ku dengar sebuah suara berkata, "Akhirnya sampai juga. Aku senang akan nyali-mu teman." Sontak mataku terbuka. Dan aku menjerit. Kedua mata Jeff melotot tak berkedip, senyumnya merah. Dia telah mengukir senyum itu di wajahnya sendiri! Bajunya berlumuran darah, tak sanggup lagi, akupun pingsan. Ketika aku sadar, ku dapati diriku berada di meja makan. Pisauku hilang, dan saat aku mengangkat kepala, kulihat beberapa orang terduduk mengelilingi meja, mereka orang tuaku, orang tua Jeff, saudaranya Liu, serta teman- temanku. Dan mereka semua sudah mati. Dengan bibir mereka sobek membentuk seringai, juga dada mereka terluka merah menganga. Aromanya sugguh memuakkan, sungguh tak dapat digambarkan... tak seperti apapun yang pernah ku cium sebelumnya. Aroma ini serupa dengan aroma kematian itu sendiri. Aku mencoba berteriak, namun mulutku terbebat dan tubuhku terikat ke kursi. Aku memandang tak percaya ke sekeliling. Air mata mulai berjatuhan dari wajahku, aku tak tahan melihat pemandangan dan bau dari mayat-mayat di hadapanku. "Lihat, siapa yang udah bangun." Aku menoleh ke samping. Jeff berdiri di sana. Aku langsung menjerit namun teredam oleh bebatan di mulutku. Tau-tau Jeff sudah berada dekat sekali di sebelahku, dengan bilah pisau yang menempel ke leherku. "Sshhsstt.. ssshss, sshs, shssst. Nggak sopan meneriaki teman seperti itu," dia mulai menggoreskan pisaunya ke permukaan wajahku. Yang meninggalkan garis transparan membentuk pola senyum menyeringai mulai dari ujung bibir sampai ke pipiku. Tubuhku bergetar hebat saat dia melakukannya. Ketika aku memalingkan wajah, dia langsung menjambak rambutku dan memaksakan wajahku menghadap ke arah pemandangan di seberang meja. "Duh, duh, jangan kurang ajar, kau menghina semua tamu undangan dengan tidak mau memandang wajah cantik mereka." Aku terpaksa kembali melihat, mengamati setiap ukiran senyuman di wajah-wajah mereka, bahkan ada beberapa yang luka tusukan di dadanya masih mengalirkan darah segar. Air mata panas kembali membanjiri wajahku, hingga aku menangis sesenggukan. "Oww, ada apa?" Jeff mengiba. "Kamu sedih karena nggak terlihat secantik mereka?" Aku memelototinya, mencoba mencerna apa yang dia katakan. Namun aku tak tahan melihat wajah Jeff, akupun membuang muka ke arah meja. "Jangan iri, aku juga akan membuatmu tampak cantik. Bagaimana?" dia mengiris bebatan yang mengganjal mulutku dengan pisaunya. Aku meludahkan potongan bebatan itu, kemudian menoleh untuk memandang lurus kedua mata Jeff, berusaha untuk mempertahankan tatapannya. Dia memiringkan kepala ke samping dan menatap balik padaku. Aku memejamkan mata lalu berpaling muka. Dengan suara kelam aku berkata, "Mati saja kau," kemudian aku kembali menatap lurus padanya, "Dasar Joker gadungan!" Dia tertawa terbahak-bahak di depan wajahku, membuat tampangnya jadi lebih memuakkan dari pada saat dia hanya tersenyum. "Aku nggak menyangka kalau kamu bisa selucu ini." Dia mendekatkan wajahnya ke wajahku. Aku tak sudi dan membuang muka, aku dapat merasakan panas nafasnya terhembus di kulitku. "Sesama teman harus saling tolong menolong kan? Nah, karena itu aku akan melakukan sesuatu untukmu." Dia melepaskan jambakannya dari rambutku. Ketika aku menoleh, kulihat dia berjalan keluar dari ruangan. Aku menengok sekali lagi ke seberang meja, meresapi pemandangan itu. Air mataku mulai menitik lagi saat teringat akan kenangan tentang keluargaku serta teman-temanku yang baru beberapa jam lalu masih hidup. Aku masih tersedu sedan saat Jeff kembali. "Jangan nangis," katanya, "Semua akan segera berakhir." Aku menoleh dan kulihat barang bawaanya, sejerigen pelumas dan sekaleng bensin. Mataku mendelik ke arah jeff. "Aku nggak punya alkohol, jadi inilah yang akan kulakukan." Dia menyiramkan pelumas dan bensin ke sekujur tubuhku. "Sebaiknya kita bergegas Jane. Soalnya aku udah nelpon pemadam kebakaran." Kemudian dia mengeluarkan pemantik api. Menyalakannya. Lalau dilemparnya pemantik itu ke arahku. Segera saja setelah percikan api menyentuhku, api langsung berkobar melalap tubuhku. Aku menjerit sekeras-kerasnya. Rasa sakit itu sungguh tak tertahankan. Aku dapat merasakan dagingku meleleh, hawa panas menyelubungi setiap pori-pori kulitku. Aliran darah dalam pembuluhku mulai mendidih, tulang- tulangku berkeretak dan menguapkan bau hangus. Sesaat sebelum aku roboh, aku mendengar suara tawa Jeff, "Sampai jumpa lagi, kawan! Ku harap kau jadi secantik aku! AHA HA HA HA!" Lalu semuanya gelap.
. Lampu- lampu di rumah Jeff menyala. Aku tahu aku harus pergi ke sana, tapi ketakutan memenuhi pikiranku. Aku menggeleng cepat dan kembali memandang ke luar. Di sana, kulihat Jeff sedang bersandar di jendela rumahnya sambil menenteng pisau di tangan, mengetuk-ngetukan ujung pisaunya ke kaca jendela. Tuk, tuk, tuk Dia masih tersenyum. Tuk, tuk, tuk Aku beringsut mundur menjauhi jendela, tanpa mengalihkan kedua mataku darinya. Kemudian aku langsung berbalik lari ke dapur. Sesaat setelahnya, aku mengintip dari dalam dapur untuk melihat jendelanya, semua yang tampak adalah warna merah melumuri kaca. Aku meneliti ke sekeliling dapur. Semuanya masih tetap berada di tempatnya, tak terkecuali pisau-pisau. Ku sambar satu dan kugenggam erat pegangannya. Kemudian aku meraih telepon untuk mencoba menghubungi 911. Namun salurannya terputus. Aku tak tahu dimana ponsel ayah lagipula apa benda itu juga sudah diperbaiki. Aku tak sudi pergi mencari ke lantai atas. Aku tak mau ditikam dari belakang saat aku sibuk mencari, dan jika aku minta bantuan tetangga, bisa-bisa Jeff melukai salah satu tawanannya. Jadi hanya satu pilihan tersisa. Pergi ke sana, dan melawan Jeff seorang diri. Ku cengkeram gagang pisau lebih erat lalu melangkah ke pintu depan, mengenakan sepatu dan berjalan mendekati ambang pintu. Tanganku tak ingin melepas pegangan pintu saat aku hendak keluar. Tapi aku meneguhkan niatku. Kulepaskan kenob pintu rumahku kemudian berjalan menyeberang menuju rumah Jeff. Setelah aku semakin dekat, aku memperlambat langkah. Lututku mulai gemetaran, keringat membasahi telapak tangan, nafasku memburu dan tersendat sendat, sebelum kusadari, aku sudah berdiri kaku di ambang pintu rumah jeff, terengah engah layaknya seekor anjing. Aku bergerak maju, menyentuh kenob, memejamkan mataku lalu menyentak pintunya membuka. Aku mematung di sana, sambil menenteng pisau di tangan kanan, dan mencengkeram gagang pintu di tangan kiri, terlalu ngeri untuk membuka mata. Hingga ku dengar sebuah suara berkata, "Akhirnya sampai juga. Aku senang akan nyali-mu teman." Sontak mataku terbuka. Dan aku menjerit. Kedua mata Jeff melotot tak berkedip, senyumnya merah. Dia telah mengukir senyum itu di wajahnya sendiri! Bajunya berlumuran darah, tak sanggup lagi, akupun pingsan. Ketika aku sadar, ku dapati diriku berada di meja makan. Pisauku hilang, dan saat aku mengangkat kepala, kulihat beberapa orang terduduk mengelilingi meja, mereka orang tuaku, orang tua Jeff, saudaranya Liu, serta teman- temanku. Dan mereka semua sudah mati. Dengan bibir mereka sobek membentuk seringai, juga dada mereka terluka merah menganga. Aromanya sugguh memuakkan, sungguh tak dapat digambarkan... tak seperti apapun yang pernah ku cium sebelumnya. Aroma ini serupa dengan aroma kematian itu sendiri. Aku mencoba berteriak, namun mulutku terbebat dan tubuhku terikat ke kursi. Aku memandang tak percaya ke sekeliling. Air mata mulai berjatuhan dari wajahku, aku tak tahan melihat pemandangan dan bau dari mayat-mayat di hadapanku. "Lihat, siapa yang udah bangun." Aku menoleh ke samping. Jeff berdiri di sana. Aku langsung menjerit namun teredam oleh bebatan di mulutku. Tau-tau Jeff sudah berada dekat sekali di sebelahku, dengan bilah pisau yang menempel ke leherku. "Sshhsstt.. ssshss, sshs, shssst. Nggak sopan meneriaki teman seperti itu," dia mulai menggoreskan pisaunya ke permukaan wajahku. Yang meninggalkan garis transparan membentuk pola senyum menyeringai mulai dari ujung bibir sampai ke pipiku. Tubuhku bergetar hebat saat dia melakukannya. Ketika aku memalingkan wajah, dia langsung menjambak rambutku dan memaksakan wajahku menghadap ke arah pemandangan di seberang meja. "Duh, duh, jangan kurang ajar, kau menghina semua tamu undangan dengan tidak mau memandang wajah cantik mereka." Aku terpaksa kembali melihat, mengamati setiap ukiran senyuman di wajah-wajah mereka, bahkan ada beberapa yang luka tusukan di dadanya masih mengalirkan darah segar. Air mata panas kembali membanjiri wajahku, hingga aku menangis sesenggukan. "Oww, ada apa?" Jeff mengiba. "Kamu sedih karena nggak terlihat secantik mereka?" Aku memelototinya, mencoba mencerna apa yang dia katakan. Namun aku tak tahan melihat wajah Jeff, akupun membuang muka ke arah meja. "Jangan iri, aku juga akan membuatmu tampak cantik. Bagaimana?" dia mengiris bebatan yang mengganjal mulutku dengan pisaunya. Aku meludahkan potongan bebatan itu, kemudian menoleh untuk memandang lurus kedua mata Jeff, berusaha untuk mempertahankan tatapannya. Dia memiringkan kepala ke samping dan menatap balik padaku. Aku memejamkan mata lalu berpaling muka. Dengan suara kelam aku berkata, "Mati saja kau," kemudian aku kembali menatap lurus padanya, "Dasar Joker gadungan!" Dia tertawa terbahak-bahak di depan wajahku, membuat tampangnya jadi lebih memuakkan dari pada saat dia hanya tersenyum. "Aku nggak menyangka kalau kamu bisa selucu ini." Dia mendekatkan wajahnya ke wajahku. Aku tak sudi dan membuang muka, aku dapat merasakan panas nafasnya terhembus di kulitku. "Sesama teman harus saling tolong menolong kan? Nah, karena itu aku akan melakukan sesuatu untukmu." Dia melepaskan jambakannya dari rambutku. Ketika aku menoleh, kulihat dia berjalan keluar dari ruangan. Aku menengok sekali lagi ke seberang meja, meresapi pemandangan itu. Air mataku mulai menitik lagi saat teringat akan kenangan tentang keluargaku serta teman-temanku yang baru beberapa jam lalu masih hidup. Aku masih tersedu sedan saat Jeff kembali. "Jangan nangis," katanya, "Semua akan segera berakhir." Aku menoleh dan kulihat barang bawaanya, sejerigen pelumas dan sekaleng bensin. Mataku mendelik ke arah jeff. "Aku nggak punya alkohol, jadi inilah yang akan kulakukan." Dia menyiramkan pelumas dan bensin ke sekujur tubuhku. "Sebaiknya kita bergegas Jane. Soalnya aku udah nelpon pemadam kebakaran." Kemudian dia mengeluarkan pemantik api. Menyalakannya. Lalau dilemparnya pemantik itu ke arahku. Segera saja setelah percikan api menyentuhku, api langsung berkobar melalap tubuhku. Aku menjerit sekeras-kerasnya. Rasa sakit itu sungguh tak tertahankan. Aku dapat merasakan dagingku meleleh, hawa panas menyelubungi setiap pori-pori kulitku. Aliran darah dalam pembuluhku mulai mendidih, tulang- tulangku berkeretak dan menguapkan bau hangus. Sesaat sebelum aku roboh, aku mendengar suara tawa Jeff, "Sampai jumpa lagi, kawan! Ku harap kau jadi secantik aku! AHA HA HA HA!" Lalu semuanya gelap.
***
Ketika aku terbangun, aku
berbaring di ranjang rumah sakit, terbalut perban dari ujung kepala
sampai jempol kaki. Semuanya terasa berputar, dan sakit sekali saat aku
berkedip bahkan bernafas. Aku melihat sekelilingku yang kosong. Aku
berdeham nyaring sebab mulutku tertutup perban. Sekujur tubuhku perih.
Beberapa menit kemudian, seorang suster datang. "Jane, kamu bisa
mendengar suara saya?" Aku memandangnya. Sekitarku terasa semakin
berputar. "Jane, saya perawatmu, Jackie, saya tak tahu bagaimana harus
memberitahukan ini tapi, keluargamu tewas dalam kebakaran. Saya turut
berduka cita." Air mata kembali menuruni pipiku. Aku terisak. "Jangan
sayang, jangan menangis. Itu akan membuat kamu sulit bernafas." Aku tak
dapat berhenti. "Jane akan saya berikan obat penenang untukmu." Aku
merasakan sesuatu meresapi aliran darahku, lalu akupun jatuh tertidur.
Ketika aku tersadar lagi, aku tak mampu bergerak leluasa dan perbanku
tak sebanyak saat aku pertama kali siuman. Aku melihat sekeliling,
terdapat banyak buket bunga di dalam ruanganku. Beberapa masih segar,
yang lainnya sudah layu. Aku berusaha bangun tapi seorang suster datang
lalu kembali membaringkanku. Aku mencoba berbicara. Suaraku parau dan
serak. "Berapa, berapa lama aku tertidur?" "Hampir 2 minggu. Kamu
dikondisikan untuk tidur panjang guna membantu tubuhmu memulihkan diri.
Saya suster yang sama yang kamu lihat ketika siuman pertama kali."
"Berikan aku cermin," pintaku. "Jane, saya rasa itu tidak ba-" "AMBILKAN
AKU CERMIN ! " Kurasakan tanganku di susupi gagang cermin. Ketika
kulihat pantulan wajahku, aku menjatuhkan cermin itu ke lantai.
Hancurnya cermin itu menjadi berkeping-keping tak sebanding dengan
kehancuranku setelah melihat kenyataan yang ada. Kulitku bersisik dan
kecoklatan, tak sehelai rambutpun tersisa di kepalaku, serta kulit
dimataku berkantung-kantung. Aku terlihat buruk rupa hampir seperti
Jeff. Semua kenangan meluapiku bak terjangan tsunami. Aku menangis
meraung raung. Suster itu memeluku namun tak banyak membantu. Meskipun
aku menangis begitu keras, aku terkejut mendapati bahwa tak seorangpun
datang untuk menghiburku. Aku kini sebatang kara. Setelah akhirnya aku
berhenti menangis, aku hampir tak sanggup bicara. Tiba-tiba seseorang
mengetuk di pintu. "Permisi, saya mengantar kiriman untuk 'Nona
Arkensaw'?" "Terima kasih," Jackie berdiri lalu menerima paketnya. Aku
tak ingin si pria pengantar kiriman melihat rupaku, jadi aku memalingkan
wajah ke tembok. "Seseorang sungguhlah perhatian padamu Jane. Tampaknya
orang ini juga yang telah mengirimi semua buket-buket bunga ke
ruanganmu, ini juga ada paketnya." Aku menengok. Jackie sedang menenteng
bungkusan berwarna merah muda yang terikat benang cokelat. Aku meraih
menerima paket itu. Segera benda itu ada di tanganku, aku merasakan
sesuatu yang tidak beres. "Maaf, tapi bolehkah aku minta sesuatu untuk
kumakan?" pintaku semanis mungkin. "Tentu saja, akan kuambilkan makanan
untukmu." Jackie tersenyum, kemudian melenggang pergi. Tanganku bergetar
saat kucoba menyentuh benangnya dan menariknya. Kertas pembungkus itu
segera terkuak membuka dan didalamnya ku lihat sesuatu yang membuat
darahku beku seperti es. Sebuah topeng putih dengan lingkaran hitam di
sekeliling lubang mata juga sebuah corak berbentuk senyuman hitam di
bagian mulut. Dilengkapi lapisan hitam tembus pandang menutupi lubang
mata sehingga walaupun orang lain tak dapat melihat mataku, aku tetap
dapat melihat mereka. Beserta paket itu terdapat gaun panjang, yang juga
berwarna hitam, dengan kerah turtle, sepasang sarung tangan hitam, dan
rambut palsu hitam bergelombang yang anggun. Bersama dengan semua
benda-benda tersebut, terhiasi oleh sebuket bunga mawar hitam juga
sebilah pisau dapur berkilau tajam. Secarik catatan tertempel di topeng,
bertuliskan : " Jane maaf sekali aku sudah mengacau karena mencoba
menjadikanmu tampak cantik. Jadi aku mengirimimu topeng supaya kau
terlihat cantik hingga keadaanmu membaik. Dan kau melupakan pisaumu, aku
pikir kamu pasti menginginkannya kembali." '-Jeff ' Saat suster Jackie
muncul, kiriman Jeff kusembunyikan di bawah kasur. Aku hanya memberitahu
kalau isinya hanyalah buket bunga itu. Suster Jackie terlihat jijik
akan bunga-bunga tersebut jadi dia membuangnya. Aku berterimakasih untuk
itu. Saat malam tiba, ketika semua orang telah terlelap atau sudah
pulang, aku menyelinap keluar. Satu-satunya yang harus kukenakan adalah
gaun itu. Jadi aku memakainya, lalu di luar lorong aku temukan sepasang
sepatu yang mungkin terlupakan oleh seorang suster ceroboh. Ku pakai
rambut palsuku agar aku tampak tak terlalu mencolok. Aku tak tahu ke
arah mana aku menuju, aku tak perduli. Ketika akhirnya aku berhenti
melangkah, kudapati diriku berada di depan sebuah area pemakaman. Aku
memasukinya, dan menemukan 2 buah batu nisan berdampingan. Isabelle
Arkensaw dan Gregory Arkensaw. Aku berlutut di hadapan kedua nisan
mereka untuk sekali lagi meratapi nasib. Setelah aku bangkit kembali,
fajar hampir menyingsing, begitupun dengan babak baru dalam kehidupanku.
Kukeluarkan topeng, lalu ku kenakan. Kemudian ku ambil pisauku dan ku
genggam erat seperti saat pertama kali aku menggenggamnya. Aku berbalik
menghadap ke cakrawala, pada hari itu ku ikrarkan sumpahku untuk
membalas dendam pada Jeff the Killer dan menubuatkan julukanku sebagai
"Jane Everlasting". Karena satu-satunya hal tersisa yang kuinginkan
adalah aku ingin dapat bertahan selamanya lebih dari pada kegilaan Jeff
yang akan menjadi akhir dari riwayatnya. Semenjak hari itu aku terus
melacak keberadaan Jeff untuk menghabisinya. Memburunya. Memburunya
seperti binatang, karena memang itulah dia sebenarnya. Aku akan
menemukanmu Jeff, dan aku akan membunuhmu. Mengenai fotoku di layar hp
beserta tulisan : "Jangan pergi tidur, kau takkan bangun." akan
menjelaskan tentang apa yang ingin kuperbuat pada para calon korbannya
Jeff, juga mencegah agar mereka tidak menjadi korban. Siapapun yang
berkata kalau aku membunuh mereka supaya tidak dibunuh Jeff duluan
adalah perkataan yang berlebihan dan memuakkan. Jadi inilah kisahku. Kau
akan menerimanya sebagai kebenaran atau sebaliknya bukanlah urusanku.
Sekarang aku mohon diri, matahari hampir terbenam, dan sekali lagi
perburuanku akan segera dimulai.